Example floating
Example floating
Sosial Budaya

GALUNGAN : Hari Raya yang Penuh dengan Nilai Filosofi

91
×

GALUNGAN : Hari Raya yang Penuh dengan Nilai Filosofi

Sebarkan artikel ini
Prosesi upacara Galungan yang dilaksanakan di Pura Giri Cycloop.
Example 468x60

Galungan dikenal juga sebagai “Rerahinan Gumi” yang artinya semua umat Hindu wajib melaksanakannya agar terhindar dari marabahaya.

Catatan : Ari Bagus Poernomo

DENGAN berpakaian tradisional khas Bali satu-persatu umat Hindu yang berdomisili di Kota Sentani, Kabupaten Jayapura mulai mendatangi dan memasuki Pura Giri Cycloop yang beralamat di Jalan Sosial, Sentani, Rabu (28/02).

Kedatangan para umat, baik pria, wanita dan anak-anak ke Pura Giri Cycloop disambut dengan tatapan dingin oleh pasangan Dwarapala yang senantiasa menjaga pintu masuk tempat peribadatan umat Hindu di seluruh Indonesia.

Dwarapala adalah sosok penjaga pintu dalam ajaran Hindu, khususnya di Jawa dan Bali. Dalam seni patung, Dwarapala digambarkan berbentuk manusia atau monster dan menjadi elemen penting dalam arsitektur suatu bangunan keagamaan.

Biasanya Dwarapala ditempatkan dibagian luar candi, kuil ataupun bangunan lain untuk melindungi tempat suci ataupun tempat keramat.

Setelah mayoritas umat Hindu yang berdomisili di Kota Sentani mulai memadati Pura Giri Cycloop itu, proses peribatadan pun di mulai dengan doa-doa yang dituturkan dalam bahasa sansekerta.

Peribadatan yang dilakukan oleh umat Hindu di Kabupaten Jayapura ni untuk merayakan Hari Raya Galungan yang dirayakan setiap enam bulan sekali dalam perhitungan kalender Masehi maupun perhitungan kalender Saka milik umat Hindu.

Hari raya Galungan dirayakan oleh umat Hindu Indonesia khususnya di Bali setiap 210 hari sekali dengan menggunakan perhitungan kalender Saka dan Bali, yaitu pada hari Budha Kliwon Dunggulan (Rabu Kliwon Wuku Dungulan) sebagai hari kemenangan Dharma (Kebenaran) melawan Adharma (Kejahatan).

Untuk tahun 2024 ini, Hari Raya Galungan jatuh pada bulan Februari dan September dalam kalender Masehi dan setiap tahunnya akan berubah karena semua Hari Raya umat Hindu selalu berpatokan pada penanggalan di kalender Saka yang mengikuti peputaran matahari. Dalam Kalender Saka, Hari Raya Galungan sendiri jatuh pada bulan Phalgunamasa dan Asujimasa.

Melansir dari berbagai sumber, hari raya Galungan juga dirayakan oleh masyarakat Tengger yang mendiami dataran tinggi sekitaran kawasan pegunungan Bromo-Tengger-Semeru, Jawa Timur dengan makna dan cara yang berbeda dengan masyarakat Bali, setidaknya hingga pengenalan agama Hindu Dharma ke kawasan Tengger tahun 1980-an.

Masyarakat Tengger merayakan Galungan setiap 210 hari sekali di wuku galungan sebagai hari untuk memberkati desa, air, dan masyarakat. Tata cara perayaannya identik dengan barikan, satu upacara lain yang biasanya dilakukan tiap 35 hari sekali atau setelah bencana seperti gunung meletus, gempa, atau gerhana. Berbeda dengan barikan, hari raya galungan Tengger sudah tidak dilaksanakan dengan cara Tengger namun telah disatukan dengan perayaan galungan sesuai tata cara Hindu Bali.

Hari Raya Galungan sendiri merupakan suatu wujud syukur yang disampaikan umat manusia kepada Dewa Sangkara yang menguasai pohon dan tumbuhan.

Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kabupaten Jayapura, Iptu I Made Ambo Arjana dalam sambungan telepon mengungkapkan bahwa perwujudan syukur ini menunjukan bahwa umat Hindu memiliki ikatan batin yang kuat terhadap alam disekitarnya.

Dijelaskannya, umat Hindu percaya akan Tri Hita Karana atau tiga hubungan antara manusia dengan alam, manusia dengan sesamannya dan juga manusia dengan Tuhan.

“Jadi 25 hari sebelum hari raya galungan biasanya umat hindu melakukan persembayangan meminta agar Dewa Sangkara penguasa pohon dan tumbuhan dapat memberikan hasil panen buah-buahan dan tumbuhan lain yang melimpah upacara persembayangan ini disebut dengan nama Tumpek” ungkapnya.

Made Ambo menambahkan, setelah Tumpek dilaksanakan ada juga istilah Sugihan Jawa dan Sugihan Bali. Sugihan Jawa dan Sugihan Bali, keduanya merupakan rangkaian pelaksaan hari Raya Galungan dan Kuningan yang dimulai pada Saniscara Kliwon wuku Wariga atau yang lebih dikenal dengan Tumpek Wariga (25 Hari).

Sugihan Jawa jatuh pada Wrhaspati / Kamis Wage Wuku Sungsang sedangkan Sugihan Bali jatuh pada Jumat Kliwon Wuku Sungsang atau sehari setelah Sugihan Jawa. 


Perbedaan Sugihan Jawa dan Sugihan Bali

Kata Made Ambo, Kedua sugihan ini memiliki makna sebagai wadah Pembersihan, Namun yang menjadi perbedaan terletak pada apa yang dibersikan (disucikan). Jika dilihat lebih dalam Sugihan Jawa lebih kepada pembersihan makrokosmos atau alam semesta seperti misalnya:

  • Niskala: pembersihan dengan jalan mengaturkan upacara banten pengerebuan dan prayasita sebagai lambang penyucian. Semua itu diaturkan kepada Ida Batara, para leluhur dan para dewa yang berstana di masing-masing palinggih atau pura. Diyakini pada saat Sugihan Jawa ini, para dewa akan turun diiringi dengan para luluhur untuk menerima persembahan.
  • Sekala: membersihkan palinggih atau tempat-tempat (ngererata atau mabulung yakni pekerjaan merabas atau mencabut rumput-rumput liar yang tumbuh di sekitar palinggih) Istilah Bali.

Sugihan Bali lebih mengarah pada pensucian (pembersihan) mikrokosmos atau diri sendiri. Penyucian dapat dilakukan dengan cara:

  • Sekala: Pembersihan badan fisik dari debu kotoran dunia maya, agar layak dihuni oleh Sang Jiwa Suci sebagai Brahma Pura. Pembersihan ini dapat dilakukan dengan memohon tirta pembersihan /penglukatan.
  • Niskala: Pembersihan badan rohani (Suksma Sarira dan Antahkarana Sarira) dengan cara melakukan yoga semadi yang ditujukan untuk mulat sarira, sebab pada saat ini umat seharusnya memiliki kesucian batin dengan menahan diri dari segala macam godaan indria. Hal inilah yang menjadi penekanan dalam kaitannya pelaksanaan ritual Sugihan Bali.

Mengenai Sugihan masih terdapat hal yang rancu dalam masyarakat, tidak sedikit yang berpendapat jika merayakan hari raya sugihan jawa artinya merupakan keturunan dari Majapahit (Jawa) dan Sugihan Bali artinya keturunan bali asli.

Jika dicoba menelisik pada sebuah lontar yaitu Lontar Sundarigama. Dalam Lontar Sundarigama dijelaskan bahwa filosofi dari sugihan erat kaitannya dengan Pembersihan. Yang mana dapat jelaskan makna dari Sugihan Jawa adalah penyucian makrokosmos atau buana agung atau alam semesta sebagai tempat kehidupan. Sedangkan Sugihan Bali adalah penyucian buana alit atau diri sendiri (mikrokosmos) sehingga bersih dari perbuatan-perbuatan yang ternoda atau pembersihan lahir dan batin.

Prosesi upacara Galungan yang dilaksanakan di Pura Giri Cycloop.

Setelah kedua sugihan itu dilakukan barulah umat hindu berperang melawan Bhuta Kala Tiga Wisesa yang mengganggu dengan merasuki pikiran, perkataan, dan perbuatan manusia.

“Setelah itu barulah berperang melawan Bhuta Amangkurat, Bhuta Dungulan, dan Bhuta Galungan. Berperang bukan secara fisik tetapi secara batin dan mental untuk melawan sifat-sifat burung yang akan menguasai kita. Sifat ingin berkuasa sendiri, ingin menguasai milik orang lain, sifat ingin menang sendiri dan sifat-sifat buruk lainnya” terang Made Ambo.

Setelah berhasil menang dalam peperangan tersebut pada hari berikutnya umat Hindu sering memotong babi sebagai tanda kemenangan atas keangkaramurkaan. Kata Made Ambo, potong babi sebelum hari galungan untuk membunuh sifat rahasia dan tamak dalam diri “dan setelah kita mampu mengalahkan itu baru merayakan kemenangan di hari raya Galungan” tuturnya

Karna menurutnya hewan babi merupakan simbol dari kerakusan dan ketamakan yang harus dikalahkan. Sehingga sifat-sifat tersebut tidak boleh dibiarkan hidup dalam diri seorang Hindu yang taat. Perayaan Galungan sendiri penuh dan sarat akan nilai filosofis yang dapat diterapkan dalam kehidupan sosial di tengah masyarakat sesuai dengan ajaran Dharma atau kebenaran. (***)

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *