Paraparatv.id | Jayapura | Pemerintah Kota Jayapura melalui Dinas Sosial menggelar sosialisasi pencegahan dan penanganan anak berhadapan dengan hukum (ABH). Berlangsung di Grand Talent Hotel Jayapura, Rabu (7/5/2025) dihadiri siswa SMP dan guru Bimbingan Konseling dari 23 di wilayah Kota Jayapura.
Ketua panitia, Flavius Josephus S.Th, mengatakan kegiatan terselenggara dalam rangka edukasi dan meningkatkan kemampuan anak dalam mengatasi dan mencegah kenakalan di sekolah.
Ia juga mengatakan, memberikan perlindungan hukum kepada anak agar hak dan kesejahteraannya terjaga saat berhadapan dengan hukum.
Meningkatkan pemahaman kepada peserta serta masyarakat dan aparat terkait pentingnya perlindungan dan penanganan khusus untuk ABH. Mencegah anak lain agar tidak berkonflik dengan hukum melalui edukasi dan penyuluhan hukum yang sesuai usia.
Membantu anak memahami konsekuensi tindakan mereka dan mendorong perubahan perilaku positif melalui pembinaan karakter dan rehabilitasi sosial.
Ia juga mengatakan, mengedepankan pendekatan restoratif, seperti diversi dan musyawarah mufakat, untuk menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan pidana guna menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan.
Serta, memberikan dukungan psikososial dan bimbingan hukum agar anak dapat menjalani proses hukum dengan pendampingan yang tepat, karena anak tidak dapat dipenjara.
“Sosialisasi ini bertujuan melindungi hak anak, mencegah kriminalitas anak, dan membantu rehabilitasi agar anak dapat kembali menjadi anggota masyarakat yang produktif dan bertanggung jawab,” ujar
Wakil Wali Kota Jayapura, Dr. Ir. H. Rustan Saru, M.M, mengatakan sosialisasi ini penting karena anak adalah generasi masa depan, sehingga peserta diminta untuk serius mengikuti kegiatan.
Ia juga mengatakan setelah mengikuti kegiatan, peserta memahami maksud dan tujuan pelaksanaan sosialisasi sehingga menjadi role model atau contoh di sekolah masing-masing.
“Setelah mengikuti kegiatan ini, saya berharap tidak ada lagi kasus tawuran, perundungan ataupun tindak kekerasan lainnya yang terjadi di lingkungan sekolah maupun di masyarakat,” ujar Rustan.
Selain itu, peserta sosialisasi memahami Penerapan Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) yang menekankan pendekatan keadilan restoratif, yang berfokus pada kesejahteraan anak tanpa mengabaikan kepentingan korban dan masyarakat.
Upaya preventif melalui edukasi dan penyuluhan menggunakan berbagai media (cetak, online, elektronik, dan tatap muka) untuk mencegah anak menjadi pelaku tindak pidana serta pembinaan agar anak tidak mengulangi perbuatan.
Penanganan holistik yang melibatkan keluarga, masyarakat, aparat kepolisian, dan pihak terkait lainnya secara simultan untuk mendeteksi perubahan perilaku anak, memberikan pendekatan psikologis, dan menciptakan lingkungan yang mendukung agar anak tidak berkonflik dengan hukum.
Perlindungan hukum preventif dan represif yang diatur dalam undang-undang, memastikan anak mendapat jaminan hak dan perlindungan dari kekerasan serta diskriminasi, termasuk aturan khusus dalam penangkapan dan penahanan anak yang harus sesuai hukum.
“Saya berharap pencegahan dan penanganan anak berhadapan dengan hukum melibatkan edukasi, pendekatan keadilan restoratif, koordinasi antar lembaga, dan perlindungan hukum yang menyeluruh agar anak terlindungi dan terpenuhi hak-haknya,” ujar Rustan.
Rustan menegaskan kepada Dinas Sosial Kota Jayapura untuk mengevaluasi kegiatan, agar berdampak positif terhadap lingkungan masyarakat khususnya peserta didik dan guru BK di sekolah.
Plt. Dinas Sosial Kota Jayapura, Matius Pawara, S.Sos., M.Si, mengatakan faktor lingkungan yang mempengaruhi anak berhadapan dengan hukum, seperti lingkungan keluarga yang tidak harmonis, sering terjadi konflik, kurang pengawasan, dan pola asuh yang disfungsional membuat anak rentan melakukan pelanggaran hukum.
Pengaruh teman yang negatif atau kelompok sosial yang mendorong perilaku menyimpang sangat berperan dalam pembentukan perilaku anak. Sekolah sebagai lingkungan sekunder anak dapat memberikan pengaruh positif atau negatif.
Saat ini pengaruh guru menurun dan anak lebih terpengaruh oleh teman sebaya, sehingga sekolah yang tidak kondusif bisa menjadi faktor risiko. Kemiskinan, ketimpangan sosial, dan tekanan ekonomi dapat mendorong anak melakukan tindakan kriminal sebagai jalan keluar masalah hidup.
Budaya negatif dan lingkungan sosial yang tidak sehat, seperti daerah rawan kriminalitas, dapat membentuk perilaku menyimpang anak. Paparan konten negatif di media sosial dan internet dapat mempengaruhi perilaku anak secara negatif.
Anak yang mengalami trauma, gangguan mental, atau perkembangan emosi yang belum stabil lebih rentan berperilaku menyimpang.
“Faktor-faktor itu saling berkaitan dan berkontribusi terhadap risiko anak berhadapan dengan hukum. Pencegahan efektif memerlukan perhatian pada lingkungan keluarga, sekolah, sosial, dan psikologis anak,” ujar Matius.
Kesempatan tersebut, Matius mengatakan mengintegrasikan keluarga dalam program rehabilitasi anak berhadapan dengan hukum melibatkan keluarga secara aktif dalam seluruh tahapan rehabilitasi, mulai dari asesmen.
Selain itu, penyusunan rencana intervensi, pelaksanaan, hingga monitoring perkembangan anak. Keluarga berperan sebagai support system utama yang memberikan dukungan emosional, informatif, dan instrumental selama proses rehabilitasi.
Pendampingan dan bimbingan kepada keluarga agar mereka memahami sistem hukum dan proses rehabilitasi anak, sehingga dapat memberikan dukungan yang tepat dan konsisten. Pekerja sosial perlu menjaga komunikasi yang baik antara lembaga rehabilitasi dan keluarga agar sinergi terjaga.
Komunikasi yang hangat dan terbuka antara anak, keluarga, dan pekerja sosial, sehingga anak merasa didukung dan termotivasi untuk berubah serta keluarga dapat memahami kebutuhan dan perkembangan anak selama rehabilitasi.
Program rehabilitasi dengan kebijakan dan layanan lintas sektor, termasuk dinas sosial, lembaga pemasyarakatan, dan komunitas, agar keluarga mendapatkan akses ke layanan yang mendukung reintegrasi sosial anak secara holistik.
Pelatihan dan edukasi kepada keluarga tentang cara mendukung perubahan perilaku anak, manajemen stres, dan pengasuhan yang positif agar anak dapat mandiri dan berperan aktif di masyarakat setelah rehabilitasi.
“Keluarga bukan hanya sebagai pendukung pasif, tetapi menjadi bagian integral dalam proses rehabilitasi sehingga anak berhadapan dengan hukum dapat pulih secara psikososial dan berhasil reintegrasi ke lingkungan sosialnya,” ujar Matius.(redaksi)