Example floating
Example floating
Feature

Senja Bagi Bahasa Marori Men-Gey

508848
×

Senja Bagi Bahasa Marori Men-Gey

Sebarkan artikel ini
Agustinus Mahuze dan Wayan Arka saat mendokumentasikan bahasa lokal dari suku Marind di wilayah Selatan Papua. Foto : Dokumentasi Agustinus Mahuze
Example 468x60

Bahasa suku Marori dan Men-Gey terancam punah. Penuturnya telah menua dan semakin sedikit.

Catatan : Ari Bagus Poernomo

USAI menghabiskan secangkir kopi yang diseruputnya perlahan, Agustinus Mahuze kembali memanggil pelayan kafe untuk segera membawakan kami air mineral.

Sejurus kemudian, pelayan kafe menyerahkan 2 botol air mineral yang diminta. “gerakan cepat sedikit kah” gurau Agus pada pelayan tersebut.

Usai dua kali meneguk air mineral, Agus mulai membuka pembicaraan mengenai apa yang saat ini tengah ia lakukan di Kampung Wasur, Distrik Merauke, Kabupaten Merauke, Papua Selatan.

“Sekarang kami sedang buka lahan di Kampung Wasur untuk destinasi wisata, Destinasi itu kita kasih nama Mahuze Mandiri, kita pakai marga karena lahan yang digunakan untuk destinasi wisata ini adalah milik marga Mahuze” ucap Agus.

Kata Agus, ada banyak hal yang ditawarkan kepada para pengunjung tempat wisata itu nantinya. Salah satunya adalah para pengunjung dapat melakukan pengamatan burung kuning (Cenderawasih) dan Kakatua Jambul Kuning.

Selain mengamati perilaku burung di alam bebas, nantinya para pengunjung akan diberikan informasi tentang tradisi masyarakat Marind yang berdomisili di Kampung Wasur.

Prosesi bakar batu masyarakat adat Marind yang dilaksanakan di Kampung Wasur, Distrik Merauke, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan. Foto : Dokumentasi Agustinus Mahuze

“Selain bisa mengamati burung kuning dan beberapa burung langka yang hanya ada di Taman Nasional Wasur, pengunjung nanti akan kita berikan sedikit pengetahuan tentang tradisi kami, seperti bagaimana orang Marind yang berdomisili di Kampung Wasur menebang dan mengolah sagu, lalu kemudian bakar batunya orang Marind itu seperti apa. Banyak hal yang bisa didapatkan wisatawan di Mahuze Mandiri nanti. Jadi Mahuze Mandiri itu selain dikonsep untuk tempat wisata di tempat itu wisatawan juga bisa mendapatkan sedikit edukasi mengenai kehidupan masyarakat lokal yang ada di sekitar kampung wasur” tuturnya.

Disinggung mengenai bahasa daerah, Agus yang sebelumnya sangat bersemangat menjelaskan tentang konsep Destinasi Wisata yang saat ini tengah dikembangkannya secara mandiri itu langsung lesu dan terdiam.

Dalam diam itu, Agus beberapa kali memejamkan matanya yang kemudian disusul dengan air mata yang menetes dan membasahi pipinya.

“Untuk bahasa saya tidak bisa bicara banyak, nanti kalau ada waktu main ke kampung supaya tau kondisinya seperti apa” ucapnya.

Sebelumnya, beberapa kali  saya sempat mengubunginya melalui pesan singkat Masengger untuk bertemu guna mewawancarinya terkait dengan konsep tenpat wisata yang saat ini tengah dikembangkannya, namun pesan saya tidak pernah ditanggapinya.

Hal ini menjadi inisiatif, lantaran sejauh ini belum ada destinasi wisata di Kota Merauke dan sekitarnya yang memiliki konsep serupa.

Pertemuan dengan Agustinus Mahuze, Kamis (09/03) sore itu, tidak pernah kita jadwalkan. Sejak pertengahan Februari hingga awal Maret 2023 koneksi internet di Kota Merauke terputus sehingga mayoritas masyarakat Merauke yang membutuhkan koneksi internet harus keluar mencari spot internet.

Kamis (09/03), siang sejak pukul 13.00 WIT saya numpang koneksi internet untuk mengikuti zoom meeting bersama Pengurus AJI Indonesia di Kantor Diskominfo Provinsi Papua Selatan yang berlamat di Jalan Parakomando Merauke.

Zoom meeting saya selesai, tidak lama berselang Agustinus Mahuze bersama Dinas Kominukasi dan Informatika serta Asisten I Setda Provinsi Papua Selatan, Agustinus Joko Guritno turun dari lantai 2 gedung tersebut.

Mengetahui yang turun bersama rombongan pejabat itu adalah Agustinus Mahuze, saya langsung menghampirinya untuk mengajak ngobrol terkait dengan destinasi wisatanya.

Dirinyapun mengiyakan dan mengajak untuk bertemu sore itu juga di salah satu kafe yang beralamat di Jalan Raya Mandala Bampel.

Usai pertemuan sore itu, saya berjanji kepada Agus bahwa, Sabtu (11/03) akan berkunjung ke Kampung Wasur.

***

Dua hari berselang usai bertemu Agustinus Mahuze, Jarum  jam di pergelangan tangan kiri saya menunjukan pukul 12.30 WIT. Usai berbenah, saya langsung bergegas berangkat menuju Kampung Wasur. Terik matahari yang menyengat kulit menemani perjalanan saya menuju kampung tersebut awal Maret 2023 lalu.

Setelah 30 menit perjalanan, suasana hening menyambut saya, setibanya di kampung lokal itu.

Kampung Wasur yang jaraknya berkisar 10 Kilo Meter dari pusat Kota Merauke itu, adalah salah satu kampung lokal di Kabupaten Merauke yang di diami oleh dua suku yakni Marori dan Men-Gey.

Marori dan Men-Gey merupakan dua sub-suku dari Suku Marind yang mendiami Taman Nasional Wasur, Merauke, Papua Selatan.

Siang itu, Agustina Babu Mahuze tengah duduk mengawasi cucunya yang sedang bermain di pelataran belakang rumahnya.

Wanita yang usianya lebih dari setengah abad ini merupakan satu-satunya orang Men-Gey yang masih menetap di kampung lokal itu, sepeninggal mangkat kerabatnya yang lain.

Sementara anak dan cucunya mewarisi garis keturunan dari mendiang suaminya. Agustina bersuamikan seorang Marori, pria bermarga Ndiken yang juga telah berpulang beberapa tahum silam.

“Tinggal saya saja orang Men-Gey. Dua bulan lalu itu senama saya juga sudah meninggal. Jadi tinggal saya saja” ucapnya (11/03).

Dalam tangis yang tertahan itu, Agustina mulai membuka pembicaraan mengenai bahasa sukunya yakni Men-Gey yang semakin hari semakin berkurang bahkan hampir habis penuturnya. Karena kini, hanya dirinya orang Men-Gey yang tersisa.

Beberapa kali dirinya bersama beberapa warga yang masih bisa berbahasa Marori dan Men-Gey pernah mencoba mengajarkan bahasa daerah itu kepada para pemuda yang ada di Kampung Wasur.

Agustina Mahuze (Kiri). Foto : Ari Bagus Poernomo

Salah satunya adalah menggelar kelas bahasa yang dilakukan di balai kampung setempat. Namun rupanya, upaya yang dilakukan itu, tidak semudah apa yang dia pikirkan.

“Tidak bisa, anak-anak kesulitan. Mereka lebih lancar (fasih) berbahasa Indonesia daripada bicara dengan bahasa dan logat Marori Men-Gey. Anak-anak hanya bisa ucap satu-dua kata saja. Tapi kalau untuk berbicara dengan bahasa mereka tidak bisa” katanya.

Mama Agustina Mahuze dan beberapa rekannya saat mengajarkan cara pembuatan noken dan juga bahasa kepada generasi muda di Kampung Wasur, beberapa tahun lalu. Foto : Dokumentasi Agustinus Mahuze.

Lepas dari rumah mama Agustina, saya berinisiatif untuk menemui Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Marori Men-Gey, Wilhelmus Salke Gebze.

Meski sempat menolak untuk diwawancarai namun, Wilhemus saat ditemui di kediamannya mengungkapkan bahwa saat ini yang masih fasih berbahasa Marori dan Men-Gey di Kampung Wasur dapat dihitung dengan jari.

Dia mengungkapkan, hingga saat ini orang Marori dan Men-Gey yang masih fasih dalam menggunakan bahasa tersebut tidaklah lebih dari 20 orang.

“Tidak lebih dari 20 orang. Sekarang ini hanya tersisa sekitar 16 orang saja. 1 diantaranya adalah orang Men-Gey. Sisanya itu Marori” ungkapnya.

Wilhelmus menuturkan, beberapa tahun lalu dirinya bersama Kepala Kampung Wasur dan beberapa pemuda melakukan study banding ke Provinsi Bali untuk mempelajari bagaimana masyarakat Bali dapat mempertahankan bahasa dan tradisinya.

Namun untuk menerapkan ilmu yang didapatkan dalam study banding itu di Kampung Wasur tidaklah semudah membalikan telapak tangan.

Gebze mengaku bahwa pihaknya kekurangan dalam segala hal, terutama Sumber Daya Manusia (SDM) yang dapat mengajarkan bahasa dan tradisi dari suku Marori Men-Gey kepada generasi muda.

“Kita kesulitan disitu, karena yang tau pasti akan tradisi dan bahasa kami ini adalah generasi yang usianya diatas 50 tahun. Anak-anak kami kebanyakan sudah tidak tau, sehingga ketika kami mencoba untuk mengajarkan bahasa kepada mereka, mereka rasa sulit” singkatnya.

Kurang lebih tiga jam sudah, saya berbincang-bincang bersama mama Agustina Mahuze dan Ketua LMA mengenai upaya apa saja yang sudah dilakukan LMA dan Pemerintah Kampung Wasur untuk melestarikan penggunaan bahasa Marori Men-Gey.

Matahari yang tadinya tepat berada di atas kepala, mulai condong bergerser ke arah barat, sekiranya pukul 16.25 WIT saya berpamitan pulang kepada kedua orang tua tersebut.

Cahaya Matahari yang mulai redup disertai suara tonggeret yang saling bersahutan mengiringi perjalananku pulang meninggalkan kampung itu.

***

Tiga hari berselang, saya kembali ke kampung Wasur untuk menemui Maxi Ndiken seorang pemuda Kampung Wasur yang pernah terlibat dalam pemetaan bahasa asli Merauke yang dilakukan oleh seorang peneliti dan juga akademisi dari Universitas Udayana, Bali dan Australian National University (ANU), I Wayan Arka.

Kata Maxi, pemetaan bahasa Marind pada umumnya ini sudah dilakukan sejak tahun 2010. Marind sendiri merupakan salah satu suku besar yang berdomisili di daerah Papua Selatan dan tersebar di seluruh distrik yang ada di Kabupaten Merauke.

Melansir dari portal.merauke.go.id suku Marind pada umumnya mendiami aliran sungai seperti Buraka, Bian, Kumbe dan Maro.

Suku Marind sebagai suku besar di wilayah selatan Papua ini juga mencakup beberapa sub-suku di dalamnya yakni Kanum, Yei, Yab, Meklew, Kukari serta Marori dan Men-Gey.

Maxi menuturkan, setelah bersama Wayan Arka melakukan pemetaan wilayah bahasa dari seluruh sub-suku Marind yang tersebar di seluruh distrik di Kabupaten Merauke itu, Wayan Arka memutuskan untuk fokus mengangkat kembali bahasa dari suku Marori dan Men-Gey. Hal ini diputuskan lantaran bahasa dari dua suku tersebut terancam punah.

Dijelaskan Maxi, secara harfiah bahasa dari suku Marori dan Men-Gey ini tidak memiliki perbedaan, “pada intinya bahasanya sama yang beda adalah dialek” jelasnya (14/03).

Berbagai upaya dilakukan oleh Maxi dan tim untuk mendokumentasikan setiap kata dari bahasa Marori dan Men-Gey. Rencananya, hasil dari dokumentasi itu akan ditranskrip dan diterjemahkan kedalam kamus Bahasa Indonesia dan Inggris.

Rencana pembuatan kamus bahasa Marori melibatkan seluruh unsur yang ada di Kampung Wasur khususnya generasi-generasi pendahulu yang masih fasih dalam berbahasa Marori.

 “Kaka Agus juga terlibat di dalam tim ini. Jadi dari tahun 2010 itu kita lakukan pemetaan. Setelah itu baru di tahun 2011 kita mendokumentasikan bahasa Marori dalam bentuk video ataupun suara bahkan sampai sekarang dokumentasi masih tetap kita lakukan” ucapnya.

“Jadi kalau ada upacara adat, kita berusaha merekam untuk dokumentasi, contoh kalau mau masuk ke hutan, itu biasanya tua-tua adat mereka pakai bahasa minta ijin ke leluhur, nah itu yang kita rekam lalu nanti di transkrip dan translate ke Bahasa Indonesia” tambahnya.

Hal yang sama juga dilakukan ketika anak-anak di Kampung Wasur sedang bermain permainan tradisional. Hanya saja, kata Maxi saat ini sudah sangat jarang bahkan tidak pernah anak-anak di kampung itu yang memainkan permainan tradisional.

Seorang bocah di Kampung Wasur saat meneriaki teman-temannya untuk bermain. Foto : Dokumentasi Agustinus Mahuze

Ini terjadi lantaran tidak ada lagi yang mengarahkan anak-anak untuk memainkan permainan tradisional. Karena ada istilah-istilah dalam permainan tradisional yang menggunakan bahasa asli.

Menurutnya memperkenalkan permainan tradisional kepada anak-anak adalah cara yang paling tepat untuk melestarikan bahasa asli Marori.

“Kalau dulu boleh, ada yang mengajarkan dan mengarahkan anak-anak disini untuk bermain. Tapi sekarang ini sudah tidak ada. Karena yang tau persis tentang permainan tradisional ini sudah usia lanjut bahkan banyak yang sudah meninggal, masih ada satu bapa disini, tapi karena umurnya sudah 70 tahun kalau tidak salah, bisa ditemui tapi agak susah untuk komunikasi karena pendengarannya sudah kurang baik” tutur Maxi.

Selain Maxi, ada pula Paulina Basikbasik juga turut terlibat dalam project pembuatan kamus bahasa Marori itu.  Kata Paulina hingga saat ini dirinya masih berupaya untuk membantu untuk pembuatan kamus tersebut. Meski secara fisik kamus tersebut belum diterbitkan.

Mengenai anak-anak ataupun generasi muda yang tidak dapat berbahasa Marori kata Paulina itu bukanlah kesalahan orang lain ataupun masuknya budaya lain dari luar Papua.

Paulina Basikbasik.Foto : Ari Bagus Poernomo

Dirinya cukup berkeberatan apabila ada yang mengatakan bahwa bahasa-bahasa di Papua itu punah karena masukya budaya lain dari luar Papua.

“Tapi lebih kepada kita orang tua, kalau kita sudah biasakan untuk selalu bicara dengan bahasa ke anak-anak dari mereka kecil pasti dengan sendirinya mereka akan lancar menggunakan bahasa jadi jangan salahkan orang lain yang datang” ungkapnya.

“Contoh anak saya saja, karena dari kecil saya selalu bicara denga mereka pakai bahasa jadi mereka bisa mengerti” tambahnya.

Meski saat ini senja tengah menghampiri bahasa asli dari suku Marori Men-Gey, namun Paskalina optimis bahwa pelestarian bahasa ibu ini masih bisa dilakukan.

Oleh sebab itu, kata dia butuh dukungan dari semua pihak baik itu pemerintah, akademisi dan pihak manapun untuk membantu pelestarian bahasa ibu, bukan hanya Marori dan Men-Gey saja tetapi bagi seluruh bahasa yang ada di Papua.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Merauke, Benhur mengatakan untuk melestarikan menggunakan bahasa ibu bagi suku-suku kecil yang ada di Kabupaten Merauke, sejak tahun 2022 lalu pihaknya sudah berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan setempat.

“Jadi dari tahun lalu kita sudah menginisiasikan dengan cara berdiskusi dengan teman-teman di Dinas Pendidikan, semoga tahun ini bisa ada aksi nyata. Karena biar bagaimanapun kita harus bersama dengan dinas pendidikan” ucapnya belum lama ini.

Diungkapkannya, setelah berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan dua lembaga pemerintah itu telah membuat suatu konsep untuk melestarikan bahasa ibu.

“Konsepnya adalah dengan mengnadeng tua-tua adat yang masih fassih berbahasa daerah untuk mengajarkan bahasa di sekolah-sekolah. Jadi bukan hanya Marori Men-Gey saja, tapi untuk Kanum, Yei dan beberapa sub suku Marind yang lain juga akan kita lakukan. Sehingga ini tidak hilang. Karena bahasa adalah identitas” singkatnya.

I Wayan Arka, peneliti yang juga akademisi dari Universitas Udayana, Bali dan Australian National University (ANU) yang saat ini tengah berada di Canbera, Australia mengatakan, terkait dengan bahasa Marori yang saat ini penuturnya semakin sedikit bukanya fenomena unik di Indonesia bahkan dunia.

Diungkapnya, terkait dengan bahasa-bahasa yang penuturnya di bawah 1000 orang adalah bahasa kecil atau bahasa minoritas pada level lokal seperti di Merauke ataupun regional di Papua.

“Bahasa kecil seperti Marori ini sangat rentan kecil dan terancam punah. Sudah ada bukti, tidak hanya di Indonesia. Untuk di Indonesia di Maluku ada behasa yang sudah punah, belahan dunia lain juga, di Australia juga sama” kata Wayan dalam sambungan telepon, awal April 2023 lalu.

Wayan menjelaskan, semakin kecil bahasa di suatu daerah itu tak lepas dari history masa lampau. Dahulu suku Marind yang ada di Merauke cukup mendominasi wilayah Papua Selatan bahkan sebelum masa pendudukan Belanda.

“Jadi sejarahnya, suku-suku kecil seperti Marori, Kanum dan beberapa lagi suku kecil lainnya dikalahkan oleh Suku Marind kemudian laki-lakinya di bunuh, ini kejadian masa lampau ya dan anak-anaknya di adopsi menjadi suku Marind” katanya.

Wayan melanjutkan, karena adanya kejadian masa lampau itu sehingga sampai Indonesia Merdeka suku-suku yang kecil ini semakin hari semakin kecil dan termarjinalisasi.

Ditambahkannya, dahulu suku Marori dan Men-Gey kala berdiam jauh di dalam hutan bukan di Kampung Wasur. Namun karena adanya penyerangan dari suku Marind saat itu, Marori sempat berpindah-pindah tempat atau nomaden hingga akhirnya memutuskan untuk menetap di Kampung Wasur.

“Kemudian setelah menetap di Kampung Wasur, masuklah etnis lain seperti Jawa, Maluku dan lain-lain. Sehingga Marori yang sudah semakin kecil ini ketika berbaur dengan etnis lain maka akan lebih sering berkomunikasi dengan bahasa Indonesia atau melayu Papua sehingga anak-anak muda seperti pak Agus Mahuze itu lebih fasih berbahasa Marind ketimbang Marori” jelas Wayan.

“Tidak hanya Agus, muda-mudi lainnya yang ada di Kampung Wasur sekarang lebih Fasih berbahasa Indonesia dari pada Marori” tambahnya.

Sehingga menurutnya factor external adalah factor utama yang membuat suku Marori dan Men-Gey ini semakin termarjinalisasi.

Oleh sebab itu kata Arka perlu ada suatu gerakan untuk menyelamatkan bahasa ibu yang kian hari makin berkurang penuturnya.

Arka menambahkan beberapa tahun lalu ia sempat mengajak beberapa pemuda dan tua-tua adat untuk berkunjung ke Bali.

Hal itu bertujuan agar para aparat kampung dapat mempelajari berbagai hal dan dapat diterapkan sekembalinya dari Bali.

“Selain untuk mempertahankan bahasa, tujuan lainnya agar masyarakat Kampung Wasur bisa mandiri” pungkasnya. (***)

Example 300250
Example 120x600

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *