Example floating
Example floating
BERITAKABAR SENTANIKMAN VISosial BudayaTrend

Road To KAMAN Aman, Negara Kuat

182
×

Road To KAMAN Aman, Negara Kuat

Sebarkan artikel ini
Lambang Masyarakat Adat Nusantara
Example 468x60

Paraparatv.id | Jayapura | Jeritan masyarakat hukum adat tentang hak dan martabatnya, cenderung terabaikan. Bahkan masyarakat adat yang merupakan salah satu kelompok utama dan terbesar jumlahnya, paling banyak dirugikan dan selalu menjadi korban politik pembangunan selama tiga dasawarsa terakhir ini. Penindasan terhadap masyarakat adat ini terjadi baik di bidang ekonomi, politik, hukum, maupun di bidang sosial dan  budaya lainnya.

Keberadaan masyarakat hukum adat ini menjadi sorotan khusus dari Ketua Dewan Adat Sentani yang juga Ondofolo Kampung Bambar, Doyo Baru, Orgenes Kaway.

“Para pegiat politik dan pembangunan, selalu mengatas-namakan pembangunan sehingga keberadaan kami masyarakat adat, tersingkirkan bahkan jeritan kami dianggap angin lalu.  Kami masyarakat adat terus dilecehkan dengan kalimat, suku terasing, masyarakat perambah hutan, peladang  liar,  masyarakat primitive, penghambat pembangunan, dan sebagainya,”

“Pernyataan yang melecehkan telah melanggar hak konstitusional Masyarakat Adat sebagai manusia bermartabat, untuk diperlakukan selayaknya warga negara Indonesia lainnya,” tegas Orgenes Kaway dikutip dari newguineakurir.com di Kolam Renang Alami di Kampung Bambar, Rabu (14/9/22) ketika Tim Media Centre Kongres Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (KAMAN) VI melakukan liputan tentang persiapan Kampung Bambar sebagai tempat serasehan KAMAN.

Menurut Orgenes Kaway, bahwa untuk mengangkat dan mendongkrak keberadaan Masyarakat Hukum Adat (MHA),  khususnya di Tanah Papua, maka harus ikut dan bertanggungjawab dalam pelaksanaan KAMAN VI yang akan digelar di Tanah Tabi, khususnya di Kabupaten Jayapura dan Kota Jayapura.

“Saya meminta pihak pemerintah dan para pekerja politik di partai-partai politik, supaya dapat memperhatian dan mendukung keberadaan Masyarakat Hukum Adat melalui KAMAN VI ini. Kalau negera mau tetap kuat, hargai hak-hak atau keberadaan masyarakat hukum adat. Jadi KAMAN akan aman dan lancer, maka Negara pun akan semakin kuat,” tegas Ketua Dewan Adat Sentani, Orgenes Kaway.

Menurut penelusuran newguineakurir.com yang dikutip paraparatv.id, bahwa Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) adalah organisasi kemasyarakatan (ORMAS) independen yang anggotanya terdiri dari komunitas-komunitas Masyarakat Adat dari berbagai pelosok Nusantara.

AMAN terdaftar secara resmi di Departemen Kehakiman dan Hak Azasi Manusia sebagai Organisasi Persekutuan melalui Akta Notaris No.26, H. Abu Yusuf, SH dan Akta Pendirian tanggal 24 April 2001. Selanjutnya, kemudian diperbaharui melalui Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor: AHU-0000340.AH.01.08. Tahun 2017 melalui Akta Notaris & PPAT No. 2, Ellyza, SH., M.Kn dengan Nomor NPWP 02.072.633.7-015.000

AMAN dideklarasikan berdasarkan bangunan sejarah pergerakan Masyarakat Adat yang panjang di Indonesia. Sejak pertengahan tahun 1980-an telah muncul kesadaran baru di kalangan organisasi non pemerintah (ORNOP) dan para ilmuwan sosial tentang dampak negatif pembangunan yang sangat luas terhadap berbagai kelompok masyarakat di Indonesia.

Masyarakat Adat adalah salah satu kelompok utama dan terbesar jumlahnya yang paling banyak dirugikan oleh (dan menjadi korban) politik pembangunan selama tiga dasawarsa terakhir ini. Penindasan terhadap Masyarakat Adat ini terjadi baik di bidang ekonomi, politik, hukum, maupun di bidang sosial dan  budaya lainnya.

Sejak pertengahan tahun 1980-an perlawanan Masyarakat Adat terhadap berbagai kebijakan pemerintah mulai bermunculan secara sporadis. Situasi ini menggugah keprihatinan banyak aktivis gerakan sosial dan akademisi atas kondisi yang dihadapi oleh Masyarakat Adat di berbagai kampung di tanah air sejak tahun 1990-an.

Akhirnya pada tahun 1993 di Toraja-Sulawesi Selatan disepakati pembentukan sebuah wadah yang diberi nama Jaringan Pembela Hak-hak Masyarakat Adat (JAPHAMA) yang dipelopori para tokoh adat, akademisi, pendamping hukum dan aktivis gerakan sosial. Kehadiran JAPHAMA juga sebagai tanggapan atas menguatnya gerakan perjuangan Masyarakat Adat di tingkat global.

Dalam pertemuan JAPHAMA tersebut, juga dibicarakan dan disepakati mengenai istilah Indigenous Peoples dalam konteks Indonesia sebagai “Masyarakat Adat”. Penggunaan istilah tersebut merupakan bentuk perlawanan terhadap istilah yang dilekatkan kepada Masyarakat Adat yang melecehkan, seperti suku terasing, masyarakat perambah hutan, peladang  liar,  masyarakat primitive, penghambat pembangunan, dan sebagainya yang melanggar hak konstitusional Masyarakat Adat sebagai manusia bermartabat, untuk diperlakukan layaknya warga negara Indonesia.

Melalui JAPHAMA, tokoh-tokoh adat dan berbagai elemen lainnya melakukan konsolidasi atas gagasan mengenai Masyarakat Adat dan identifikasi cita-cita bersama. Para pemimpin/ tokoh-tokoh adat pun  kemudian mendapatkan dukungan dari berbagai aktivis dan ORNOP dengan berbagai latar belakang yakni lingkungan hidup, anti globalisasi, pembaruan agraria, pendamping hukum, aktivis kebudayaan dan lain-lain untuk bersama-sama mewujudkan terlaksananya Kongres Masyarakat Adat ketika terjadinya momentum reformasi.

Pada tanggal 17-22 Maret 1999, untuk pertama kalinya, dilaksanakanlah Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN – selanjutnya disebut KMAN I) di Hotel Indonesia di Jakarta. KMAN I dihadiri oleh lebih dari 400 pemimpin dan pejuang Masyarakat Adat dari seluruh penjuru Nusantara baik perempuan maupun laki-laki. Berbagai permasalahan yang mengancam eksistensi Masyarakat Adat dari berbagai aspek seperti pelanggaran Hak Azasi Manusia; perampasan tanah, wilayah dan sumber daya; pelecehan adat dan budaya; maupun kebijakan pembangunan yang dengan sengaja meminggirkan Masyarakat Adat didiskusikan. KMAN I juga membahas dan menyepakati visi, misi, azas, garis-garis besar perjuangan dan  program kerja Masyarakat Adat.

KMAN I menghasilkan Pandangan Dasar Kongres Masyarakat Adat Nusantara 1999 tentang “Posisi Masyarakat Adat terhadap Negara” yang dengan keras menegaskan bahwa Masyarakat Adat telah lebih dulu ada sebelum adanya negara, oleh sebab itu “Jika Negara Tidak Mengakui Kami, maka Kamipun Tidak akan Mengakui Negara.”

KMAN I juga menetapkan definisi kerja bagi Komunitas Masyarakat Adat sebagai “Komunitas-Komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun-temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakatnya”. KMAN I pun telah memberikan landasan kesetaraan gender dalam gerakan Masyarakat Adat.

Selanjutnya, KMAN I menetapkan terbentuknya Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) sebagai wadah perjuangan Masyarakat Adat. Sejak saat itu, tanggal 17 Maret pun  diperingati sebagai Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara (HKMAN) dan sekaligus Ulang Tahun AMAN. KMAN I telah menjadi momentum konsolidasi bagi gerakan Masyarakat Adat di Indonesia untuk menegakkan hak-hak adatnya dan memposisikan dirinya sebagai komponen utama di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pada periode awal pembentukannya 1999-2003, Dewan AMAN merupakan badan pengambil keputusan tertinggi organisasi di bawah KMAN. Dewan AMAN berjumlah 54 orang yang mewakili 27 propinsi, masing-masing 1 laki-laki dan 1 perempuan. Dewan AMAN kemudian memilih dan menetapkan 3 orang di antara mereka sebagai Koordinator Dewan AMAN, yang mewakili Indonesia bagian barat, tengah dan timur. Koordinator Dewan AMAN ini, di samping tugas utamanya mengkoordinasikan anggota Dewan AMAN di wilayah masing-masing, juga bertanggung-jawab untuk mengeluarkan arahan-  arahan kebijakan dan sekaligus melakukan pengawasan terhadap Sekretaris Pelaksana dalam penyelenggaraan sehari-hari Sekretariat Nasional AMAN. Anggota AMAN saat itu terdiri dari Komunitas Masyarakat Adat dan Organisasi Masyarakat Adat (OMA).

Pada periode selanjutnya struktur organisasi ini terus berkembang sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan anggotanya untuk lebih mampu merespon berbagai tantangan, baik di tingkat daerah dan nasional maupun perkembangan di tingkat global.

Perubahan paling signifikan terjadi  pada KMAN III di Pontianak, Kalimantan Barat pada tahun 2007. Dalam KMAN III ini diputuskan dan ditetapkan bahwa AMAN dipimpin oleh  Sekretaris Jendral yang berfungsi sebagai pelaksana mandat dari organisasi. Dalam pelaksanaan tugas- tugasnya, Sekretaris Jendral AMAN didampingi oleh Dewan AMAN Nasional (DAMANNAS) utusan dari 27 propinsi, masing-masing terdiri dari 1 laki-laki dan 1 perempuan. Mereka dipilih dan ditetapkan dalam KMAN III. DAMANNAS kemudian memilih Koordinator Region, yakni Region Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan Papua.

Kepemimpinan di tingkat nasional ini disebut dengan Pengurus Besar (PB)  AMAN.  Sementara untuk tingkat wilayah dan daerah, AMAN dipimpin oleh Pengurus Wilayah (PW) dan Pengurus Daerah (PD) yang masing-masing terdiri dari Badan Pelaksana Harian (BPH) Wilayah dan BPH Daerah serta Dewan AMAN Wilayah (DAMANWIL) dan Dewan AMAN Daerah (DAMANDA) sebagai penasehat dan pengawas. Selain itu, dari sisi keanggotaan juga mengalami perubahan. KMAN III memutuskan bahwa AMAN yang sebelumnya beranggotakan komunitas dan organisasi Masyarakat Adat,   kemudian   hanya   beranggotakan   komunitas   Masyarakat   Adat.   Organisasi-organisasi

Masyarakat Adat yang selama ini menjadi anggota AMAN, dileburkan dan dimandatkan menjadi PW dan PD AMAN.

KMAN IV dilaksanakan pada April 2012 di Tobelo, Halmahera Utara Propinsi Maluku Utara. Dalam KMAN IV, terjadi perubahan dalam susunan DAMANNAS yang semula terdiri dari 54 orang utusan dari 27 provinsi yang dipimpin oleh 7 orang Koordinator Regional, dirubah dengan menghapuskan perutusan provinsi dan menggantinya menjadi perutusan region. Hingga saat ini, DAMANNAS berjumlah 14 orang, terdiri dari 1 laki-laki dan 1 perempuan dari utusan Region Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan Papua. DAMANNAS dipilih oleh masing-masing region, dan ditetapkan dalam KMAN IV.

Selanjutnya, KMAN V dilaksanakan pada 15-19 Maret 2017 di Kampung Tanjung Gusta, Deli Serdang Propinsi Sumatera Utara. Pada KMAN V ini, susunan DAMANNAS tidak mengalami perubahan dan masih berjumlah sebanyak 14 orang yang terdiri dari 1 laki-laki dan 1 perempuan dengan utusan 7 region besar. Selain itu, kepemimpinan harian organisasi di PB AMAN masih dipimpin oleh Sekretaris Jendral (Sekjen) AMAN.

Tahun 2022, KAMAN VI akan digelar di Tanah Tabi, khususnya di Kabupaten Jayapura dan Kota Jayapura, Papua dari tanggal 24 sampai 30 Oktober 2022.  Untuk itu, seluruh Ondoafi di Tanah Tabi menjamin, pelaksanaan KAMAN ini akan berjalan aman. Ketika KAMAN aman, negera pun akan semakin kuat. (*/Krist Ansaka – MC KAMAN/Redaksi)

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *