Oleh: Anthon Raharusun*
Parapara Opini | Jayapura | Menanggapi pernyataan Kepala Kantor Regional IX Badan Kepegawaian Negara (BKN) yang meminta Gubernur Papua dan Bupati/Walikota di Provinsi Papua untuk memberhentikan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang melakukan tindakan pidana korupsi dan menyalahgunakan kewenangan yang telah mendapat putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht) (Cepos Rabu, 24/10/2018).
Menanggapi pernyataan tersebut menurut saya, Pemerintah tidak bisa secara serta merta memberhentikan seorang ASN berdasarkan Putusan Pengadilan yang sudah inkracht tersebut sehingga perlu pertimbangan yang menyeluruh dan lebih bijak.
Sebab sesuai Peraturan Pemerintah (PP) No. 11 Tahun 2017 tentang Manajemen ASN menegaskan bahwa, PNS dapat diberhentikan dengan hormat atau tidak diberhentikan karena dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan hukuman pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana yang dilakukan tidak berencana.
PNS yang dipidana dengan pidana penjara 2 (dua) tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana tidak dengan berencana, menurut PP ini, tidak diberhentikan sebagai PNS apabila: “perbuatannya tidak menurunkan harkat dan martabat dari PNS”; “mempunyai prestasi kerja yang baik”; “tidak mempengaruhi lingkungan kerja setelah diaktifkan kembali”; dan ”tersedia lowongan Jabatan”.
“PNS yang tidak diberhentikan sebagaimana dimaksud, selama yang bersangkutan menjalani pidana penjara maka tetap bersatus sebagai PNS dan tidak menerima hak kepegawaiannya sampai diaktifkan kembali sebagai PNS,” bunyi Pasal 249 ayat (1) PP ini.
PNS sebagaimana dimaksud diaktifkan kembali sebagai PNS apabila tersedia lowongan Jabatan. Dalam hal tidak tersedia lowongan jabatan, menurut PP ini, dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun, PNS yang bersangkutan diberhentikan dengan hormat.
Dengan demikian, jelas bahwa PNS/ASN tidak dapat secara serta merta diberhentikan begitu saja, sehingga perlu ada pertimbangan-pertimbangan yang komprehensif (menyeluruh) sehingga tidak merugikan hak-hak konstitusional ASN.
Jangan sampai hanya karena ada Surat Edaran Mendagri tersebut kemudian semua ASN berstatus koruptor diberhentikan. Dalam banyak kasus Korupsi yang melibatkan ASN/Pejabat ASN adalah terkait kesalahan-kesalahan yang lebih bersifat administratif yang dianggap sebagai penyalahgunaan kewenangan atau dianggap sebagai perbuatan korupsi yang mengakibatkan banyak ASN masuk penjara hanya karena persoalan administratif yang seringkali oleh aparat penegak hukum memenjarakan ASN.
Hal ini tentu saja menjadikan banyak ASN menjadi korban dari peradilan sesat akibat proses penegakkan hukum yang salah baik pada tingkat Penyidikan hingga proses hukum di Pengadilan.
Seringkali Aparat Penegak Hukum (KPK, Kepolisian dan Kejaksaan) mengabaikan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan (UU 30/2014) yang memberikan proteksi atau perlindungan hukum bagi Pejabat Pemerintah atau ASN dalam penyelenggaran pemerintahan, terutama dalam menggunakan wewenang pemerintahan untuk menyelesaikan permasalahan dalam penyelenggaraan pemerintahan, pengaturan mengenai administrasi pemerintahan, termasuk penyalahgunaan wewenang pemerintahan, khususnya 2 terkait dengan masalah kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian keuangan Negara dapat diselesaikan secara internal pemerintahan melalui melalui Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP).
Namun sayangnya bahwa APIP ini tidak begitu berfungsi dengan baik untuk membantu Pejabat Pemerintah (ASN), sehingga kesalahan administratif yang berindikasi menimbulkan kerugian keuangan negara tidak kemudian secara merta kesalahan tersebut dianggap sebagai suatu tindakan atau perbuatan korupsi atau perbuatan penyalahgunaan wewenang. Jika terdapat kesalahan administratif sesuai hasil Pengawasan APIP, maka dilakukan tindak lanjut dalam bentuk penyempurnaan administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Jika hasil pengawasan APIP itu terdapat kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian keuangan Negara, maka dilakukan pengembalian kerugian keuangan Negara. Pengembalian kerugian keuangan negara karena kesalahan administratif, maka akan dibebankan kepada Badan atau Pejabat Pemerintahan, dan bukan sebaliknya kesalahan administratif tersebut kemudian memenjarakan Pejabat/ASN yang bersangkutan hanya karena kesalahan administratif.
Pemahaman inilah yang hingga saat ini belum adanya suatu kesamaan pandang antara Pemerintah dengan Aparat Penegak hukum (KPK, Polisi dan Jaksa termasuk Hakim), khususnya terkait penerapan UU Administrasi Pemerintahan ini, di mana seringkali dalam kasus Korupsi yang melibatkan ASN atau Penyelenggara Negara diabaikan oleh Aparat Penegak Hukum tanpa mempertimbangkan apakah kesalahan tersebut murni merupakan perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang ataukah hanya kesalahan administratif saja.
Artinya bahwa seluruh kesalahan administratif yang merugikan keuangan negara dipastikan telah memenuhi unsur tindak pidana korupsi sehingga perbuatan atau tindakan tersebut dapat dipidana.
Semestinya kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian keuangan Negara dapat diselesaikan secara internal pemerintahan melalui melalui Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) ini adalah sejalan dengan pendapat Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 25/PUU-XIV/2016 yang dalam pertimbangannya menyebutkan bahwa “kerugian Negara” karena kesalahan administratif bukan merupakan unsur tindak pidana korupsi.
Kerugian negara menjadi unsur tindak pidana korupsi jika terdapat unsur melawan hukum dan penyalahgunaan kewenangan. Dalam hal adanya penyalahgunaan kewenangan, suatu perbuatan baru dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana korupsi apabila berimplikasi terhadap kerugian Negara, di mana pelaku diuntungkan secara melawan hukum, masyarakat tidak dilayani, dan perbuatan tersebut merupakan tindak tercela.
Maka, terhadap pelaku tersebut wajib dihukum, namun sebaliknya kalau perbuatan tersebut lebih kepada kesalahan administratif, maka, Pemerintah dalam hal ini Kepala Daerah selaku PPK (Pejabat Pembina Kepegawaian) juga harus lebih bijak untuk tidak memberhentikan seorang ASN berstatus koruptor secara serta merta, sebab belum tentu semua pelaku tidak pidana korupsi tersebut murni menguntungkan diri sendiri atau memperkaya diri sendiri. Oleh karena itu, Pemerintah dalam hal pemberhentian seorang ASN/Pejabat ASN berstatus koruptor, sebaiknya lebih bijak dan tidak serampangan hanya karena Surat Edaran Mendagri tersebut hanya gara-gara semangat pemberantasan korupsi di Indonesia sehingga ASN dengan begitu mudahnya diberhentikan.
Padahal ASN tersebut sudah mengabdi buat bangsa dan Negara tanpa pamrih, tetapi hanya karena Surat Edaran Mendagri mengorbankan ASN. Kasihan juga sudah jatuh tertimpa tangga pula, artinya ASN tersebut 3 sudah menjalani hukuman penjara sekian tahun tetapi kemudian diberhentikan hanya karena surat Mendagri.
Jadi, sebaiknya Pemerintah menata kembali system Pengawasan Internal di lingkungan Pemerintah dengan memperkuat Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP) agar kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian keuangan negara dapat diselesaikan secara internal pemerintahan melalui Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) sehingga tidak setiap saat ASN/Pejabat ASN dipenjara hanya gara-gara kesalahan administratif yang belum perbuatannya tersebut menimbulkan kerugian keuangan Negara.
Dalam kaitan ini, maka kerugian Negara karena kesalahan administrative menurut pendapat Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 25/PUU-XIV/2016 dalam pertimbangannya menyebutkan bahwa “kerugian Negara” karena kesalahan administratif bukan merupakan unsur tindak pidana korupsi.
Kerugian negara menjadi unsur tindak pidana korupsi jika terdapat unsur melawan hukum dan penyalahgunaan kewenangan. Dalam hal adanya penyalahgunaan kewenangan, suatu perbuatan baru dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana korupsi apabila berimplikasi terhadap kerugian Negara, di mana pelaku diuntungkan secara melawan hukum, masyarakat tidak dilayani, dan perbuatan tersebut merupakan tindak tercela.
Maka, terhadap pelaku tersebut wajib dihukum, namun sebaliknya kalau perbuatan tersebut lebih kepada kesalahan administratif, maka, Pemerintah dalam hal ini Kepala Daerah selaku PPK (Pejabat Pembina Kepegawaian) juga harus lebih bijak untuk tidak memberhentikan seorang ASN berstatus koruptor secara serta merta, karena belum tentu semua pelaku tidak pidana korupsi tersebut murni menguntungkan diri sendiri atau memperkaya diri sendiri.
Oleh karena itu, Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 180/6867/SJ tanggal 10 September 2018, tersebut hanya panas-panas tai ayam saja, karena bangsa ini tidak pernah konsisten terhadap semua aturan yang sudah dibuat atas nama Negara.
Jadi, sebaiknya Pemerintah Daerah dalam hal ini Bupati dan Walikota diminta untuk tidak secara merta memberhentikan ASN hanya gara-gara Surat Mendagri tersebut. Sebab menurut saya Surat Edaran tersebut dikeluarkan justeru bertentangan dengan UU Administrasi Pemerintahan (UU 30/2014) baik dari segi wewenang, prosedur maupun substansinya.
Pemerintah sendiri harus konsisten terhadap UU tersebut, mengingat UU dikeluarkan selain untuk menyelesaikan permasalahan dalam penyelenggaraan pemerintahan, pengaturan mengenai administrasi pemerintahan juga diharapkan dapat menjadi solusi dalam memberikan perlindungan hukum, baik bagi warga masyarakat maupun pejabat pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan.
Selain itu, tujuan dikeluarkannya UU Administrasi Pemerintahan tersebut adalah bertujuan untuk menciptakan tertib penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan; menciptakan kepastian hukum; dan mencegah terjadinya penyalahgunaan Wewenang serta menjamin akuntabilitas Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan.
Semangat atau efouria pemberantasan Korupsi jangan sampai kemudian mengorbankan atau mengabaikan hak-hak konstitusional ASN, karena mereka telah mengabdi buat bangsa dan Negara sehingga Pemerintah juga harus bijaksana mempertimbangkan pengabdian mereka, sekalipun telah ada putusan pengadilan yang inkracht.
Sebab, tidak ada jaminan bahwa dengan diberhentikannya ASN berstatus Koruptor, kemudian korupsi itu menjadi berkurang. Oleh 4 karena itu, Pemerintah dalam hal ini Mendagri tidak bisa mengambil kebijakan dengan jalan pintas untuk memberhentikan ASN berstatus koruptor agar terlihat konsisten dalam pemberantasan korupsi.
Masih banyak cara yang bisa dilakukan untuk membenahi tata kelola sistem Pemerintahan kita tanpa harus mengorbankan ASN demi pemberantasan korupsi. Jadi, lebih baik Pemerintah fokus untuk membenahi sistem Pembinaan Kepegawaian dan memperbaiki sistem Pengawasan Internal dengan memperkuat APIP daripada memberhentikan ratusan bahkan ribuan ASN hanya karena alasan pemberantasan korupsi dan penegakkan hukum.
Saya yakin kalau saja, Bupati atau Walikota secara serta memberhentikan ASN tersebut hanya karena Surat Edaran Mendagri tersebut, maka bisa dibayangkan berapa banyak gugatan ke Pengadilan untuk menggugat Surat Keputusan Pemberhentian tersebut.
Jadi saya berharap Pemerintah Daerah tidak menyikapi permasalahan bangsa ini dengan cara memberhentikan ASN hanya karena ulah Surat Mendagri yang berlindung di balik semangat pemberantasan korupsi yang hanya panas-panas tai ayam itu.!!.
Kita semua tentu menginginkan Indonesia yang lebih baik dan maju tanpa Korupsi, tetapi kita juga harus mengedepankan dan mempertimbangkan dengan nurani dan rasa kemanusiaan kita sebagai bangsa dan menghargai pengabdian ASN yang sudah mengabdikan diri dan mewakafkan pengabdian mereka tanpa pamrih untuk bangsa ini.
Oleh karena itu, mari kita lebih bijak menempatkan persoalan bangsa ini tidak sekedar sampai pada memberhentikan ASN berstatus koruptor lalu semua persoalan korupsi di negeri selesai.!.
Lebih baik membebaskan 1000 orang ASN dari penjara, daripada memberhentikan satu orang ASN berstatus koruptor hanya karena Surat Endaran Mendagri yang tidak jelas dasar hukumnya. Mari kita belajar untuk melihat kompeleksitas persoalan bangsa ini tidak hanya sampai pada pemberhentian ASN berstatus koruptor di negeri Mafioso ini.
*Penulis adalah Ketua DPC PERADI Kota Jayapura.
Korupsi adalah perbuatan melawan hukum.
Pelaku ASN akan makin banyak yang melakukan korupsi jika ada celah yang memungkinkan mereka agar tidak dihukum.
Anda picik.
Korupsi adalah perbuatan melawan hukum.
Pelaku ASN akan makin banyak yang melakukan korupsi jika ada celah yang memungkinkan mereka agar tidak dihukum.