Masyarakat Kampung Mamda, Distrik Kemtuk, Kabupaten Jayapura, masih terus berjuang menjaga warisan leluhur mereka dalam mengolah sagu secara tradisional.
Catatan : Ari Bagus Poernomo
DI TENGAH derasnya arus modernisasi yang mulai merambah ke pelosok Papua, masyarakat Mamda tetap setia menokok batang sagu dan memeras patinya dengan cara tradisional—sebuah praktik yang bukan sekadar teknik mengolah pangan, tetapi merupakan perwujudan nilai budaya, identitas, dan kearifan lokal.
Tradisi ini bukan hanya penting bagi komunitas lokal, tetapi juga bagi ingatan kolektif bangsa Indonesia. Sagu adalah sumber pangan utama masyarakat Nusantara jauh sebelum beras diperkenalkan secara luas melalui sistem pertanian intensif. Bahkan, jejak sejarahnya masih dapat dilihat hingga hari ini—relief pohon sagu terpahat jelas di dinding Candi Borobudur, menjadi bukti bahwa sagu telah lama menjadi bagian dari kehidupan dan spiritualitas masyarakat arkais di Nusantara.
Dalam pandangan masyarakat adat Papua, sagu bukan sekadar makanan. Ia adalah simbol kehidupan, keberlanjutan, dan hubungan yang selaras antara manusia dan alam. Menebang sagu dilakukan dengan penuh pertimbangan; hanya pohon yang siap panen yang ditebang, dan selalu dengan kesadaran untuk menjaga kelestarian hutan. Proses menokok dan memeras sagu adalah kerja kolektif yang mempererat ikatan sosial—kaum pria bertugas menebang dan menokok, sementara perempuan memeras pati sagu untuk diolah menjadi makanan seperti papeda atau sagu bakar.

Frengky Wasanggay, salah satu warga Kampung Mamda, menegaskan bahwa rasa sagu yang diolah secara tradisional jauh lebih nikmat dibandingkan sagu hasil parutan mesin. “Kalau pakai mesin, kadang jenis sagu tercampur, rasanya jadi lain. Tapi kalau ditokok, setiap jenis sagu punya cita rasa khas, lebih enak dan terasa alami,” jelasnya. Menurut Frengky, proses tradisional juga menjamin kesucian bahan, karena tanpa campuran kimia atau kontaminasi logam dari alat berat.
Sophia Wasanggay menambahkan bahwa pengolahan sagu juga sarat nilai pendidikan. Dalam tradisi Genyem, yang mendiami wilayah ini, anak-anak belajar langsung dari orang tua: anak perempuan belajar memeras sagu dari ibunya, sedangkan anak laki-laki diajari menokok oleh ayahnya. Inilah bentuk pendidikan nilai, keterampilan, dan etika hidup yang melekat erat dalam keseharian mereka.

“Sagu dari cara tradisional lebih mengenyangkan dan menyehatkan,” ujar Sophia. “Kalau sagu dari mesin, kita cepat lapar. Tapi kalau dari sagu tradisional, tubuh kita terasa lebih kuat. Ini untuk makan keluarga, bukan untuk dijual. Kalau ada lebih, baru dibagi ke saudara atau tetangga.”
Sagu bukan hanya pohon. Ia adalah simbol kehidupan, ibu yang memberi makan anak-anaknya, akar budaya yang menumbuhkan nilai gotong royong dan keberlanjutan. Ia adalah bukti nyata bahwa bangsa ini dulu mampu hidup dari kekayaan alamnya sendiri, jauh sebelum ketergantungan pada komoditas impor seperti beras.

Dengan menjaga tradisi mengolah sagu, masyarakat Kampung Mamda bukan hanya melestarikan budaya, tetapi juga menjaga warisan asli Nusantara. Di balik setiap butir papeda yang mereka makan, ada kisah panjang tentang ketahanan pangan, tentang kearifan lokal, dan tentang bagaimana sebuah bangsa dulu hidup berdampingan dengan alamnya. Sagu, dalam keheningan hutan Papua, berbicara lantang: bahwa kekuatan sejati bangsa ini terletak pada akar budayanya sendiri. (***)