Example floating
Example floating
Sosial Budaya

Lahan Jagung Kampung Aib, Harapan yang Merimba

593
×

Lahan Jagung Kampung Aib, Harapan yang Merimba

Sebarkan artikel ini
Pembersihan lahan jagung di Kampung Aib, Distrik Kemtuk usai Panen, beberapa waktu lalu. Foto : Istimewa

Di lembah sunyi Kemtuk, Jayapura, di mana angin berbisik tentang ketabahan, nama Aiptu Yosafat Bemey terpatri laksana akar yang menembus batu karang. Berseragam cokelat kepolisian, tangannya kasar bukan oleh gemuruh senjata, melainkan oleh cangkul yang menabur benih harapan. Di Kampung Aib, ia bukan sekadar penjaga hukum, melainkan penyair tanah yang menulis sajak ketahanan pangan dengan peluh dan doa.

Catatan : Ari Bagus Poernomo

KAMPUNG AIB, sebuah titik terpencil yang nyaris terhapus dari peta gemerlap berita, menjadi kanvas bagi sebuah epos sederhana. Di sini, hukum tidak ditegakkan dengan pedang perintah, melainkan dengan ritus purba: gotong royong, cangkul, dan benih. Aiptu Yosafat Bemey, seorang abdi negara, memilih lorong sunyi—meninggalkan gemuruh komando demi harmoni bersama warga, menabur harapan di tanah yang lama tertidur.

Kisah ini berpijak pada visi besar yang dirajut Polri di bawah naungan Asta Cita Presiden Prabowo Subianto, yang menempatkan ketahanan pangan sebagai pilar keempat. Dalam program nasional “Polri Lestarikan Bumi,” Kepolisian Republik Indonesia menggagas gerakan membuka lahan tidur untuk pertanian, menggandeng warga dalam semangat kemitraan.

Polda Papua menerjemahkan visi ini dengan langkah yang lebih membumi, meluncurkan inisiatif “Ladang Harapan” pada akhir 2024. Program ini bukan sekadar seruan dari atas, melainkan panggilan untuk merangkul tanah dan rakyat. Polda Papua menargetkan pengolahan lahan kosong di wilayah terpencil, termasuk Kampung Aib, untuk menanam jagung—tanaman yang kokoh, sederhana, dan mampu menjadi tumpuan pangan lokal. Dengan dukungan traktor, benih unggul, dan pelatihan sederhana, Polda Papua berupaya menjadikan lahan-lahan terbiar sebagai lumbung harapan, sekaligus mempererat ikatan antara polisi dan masyarakat.

Di Kampung Aib, inisiatif ini berwujud nyata. Tiga hektar semak belukar yang dulu sepi kini bermetamorfosis menjadi ladang jagung yang menari di bawah mentari. Tak ada plang proyek megah, tak ada sorak anggaran hanya tangan-tangan warga dan polisi yang bersatu, mengolah bumi dengan tekad yang meruak laksana mata air.

Aiptu Yosafat Bemey saat memanaskan mesin tracktor tangan sebelum dibawa ke lokasi pertanian.

Pada 21 Januari 2025, lahan itu dibuka dengan ritus sederhana: doa yang khusyuk, derit traktorlengan yang bagai nyanyian tanah, dan semangat yang menjembatani hati. Aiptu Yosafat, sebagai bagian dari Polsek Kemtuk di bawah komando Polda Papua, tidak bertahta sebagai panglima. Ia merunduk sebagai sahabat, menggali, menabur, menyiram, dan memanen, menghidupkan adagium kuno: pemimpin adalah dia yang pertama tiba di ladang dan terakhir meninggalkan senja.

Panen dan Pemberian

Panen perdana, yang menghamparkan 15 ton jagung dari tiga hektar lahan, menjadi titian kemenangan sederhana. Bukan untuk pasar, bukan untuk tumpukan gudang, melainkan untuk dibagi: kepada warga, gereja, dan tetua adat. Sebagian disemai kembali sebagai benih musim nan datang.

Tiada ambisi korporasi, tiada panggung kemasyhuran—hanya hasrat luhur agar perut warga tak lagi meratap di bawah bayang nasib. Program “Ladang Harapan” Polda Papua tidak hanya menargetkan hasil panen, tetapi juga keberlanjutan: sebagian jagung disimpan sebagai bibit, sementara sisanya menjadi simbol kesejahteraan bersama. Polri, melalui program ini, juga menggandeng dinas pertanian lokal untuk memastikan teknik penanaman yang ramah lingkungan, memperkuat ketahanan pangan tanpa merusak harmoni alam Papua.

Badai Fitnah dan Ketabahan

Namun, laksana badai yang tak diundang, ujian datang. Sebuah liputan media nasional, dengan nada sinis dan curiga, melempar bayang keraguan atas keaslian inisiatif ini. Fitnah meruak, bagai duri yang mencabik akar kepercayaan. Warga yang semula berbangga mulai goyah; cangkul disandarkan, ladang kembali sepi. Kata-kata beracun itu nyaris memupus bara semangat dan memicu sengketa di antara hati yang tadinya bersatu.

Aiptu Yosafat, bagai pohon kelapa yang kokoh di tengah amukan angin, tidak menyerah pada sunyi. Dengan sabun kejujuran, ia mengetuk pintu-pintu rumah, merajut kembali tali kepercayaan yang tercerabut. Ia tahu, fitnah adalah belati yang mencabik, tetapi ketulusan adalah air suci yang menyembuhkan.

Pdt. Didi Mukuan dan Kepala suku di Kampung Aib saat membantu Aiptu Yosafat Bemey memindahkan traktor ke lahan pertanian jagung. Foto : Ari Bagus Poernomo

Polres Jayapura, sebagai bagian dari struktur Polda Papua, turut mengulurkan tangan. Gereja, mimbar suci yang netral, menjadi mercusuar pesan damai. Pdt. Didi Mukuan dari Gereja GPdI Sarfat Aib berujar dalam khotbahnya, “Gagal di awal bukanlah akhir perjalanan. Sukses bukanlah alasan untuk menyombong. Setiap panen adalah kitab pelajaran.” Suaranya, laksana embun, menetes perlahan, menyirami jiwa yang kering.

Marinus Yaboisembut, Ketua Bamuskam Kampung Aib, turut menggenggam obor semangat. “Fitnah hanyalah suara kecil di tengah badai. Kami tahu apa yang kami tanam, dan kami akan terus menabur,” tegasnya, bagai batu karang yang menolak dihanyutkan ombak. Program “Ladang Harapan” menjadi perekat, mengingatkan warga bahwa inisiatif ini bukan milik satu orang, melainkan ikhtiar kolektif yang dirajut oleh Polri, Polda Papua, dan hati warga.

Pdt. Didi Mukuan saat membantu Aiptu Yosafat Bemey membersihkan lahan pertannian Jagung. Foto : Ari Bagus Poernomo

Ladang yang Merimba

Kini, ladang di Kampung Aib telah merimba hingga lima hektar. Tiga telah dipanen, satu menanti matang, dan satu lagi—milik Polsek—sedang diolah dengan penuh harap. Target “Ladang Harapan” bukan sekadar tanah, melainkan ketahanan: 20 hektar yang akan merangkul kampung-kampung tetangga, bagai pohon yang merentangkan dahan. Polda Papua, melalui program ini, juga melatih warga untuk mengelola lahan secara mandiri, memastikan bahwa benih yang ditanam bukan hanya jagung, tetapi juga kemandirian.

Salah satu bibit jagung yang ditanam di lahan pertanian Kampung Aib yang membuktikan bahwa program ini berjalan sukses. Foto : Ari Bagus Poernomo

Kisah Kampung Aib bukanlah sekadar tentang jagung. Ia adalah elegi tentang kepercayaan yang tumbuh di celah-celah batu, tentang institusi yang menanggalkan topeng formalitas demi kemanusiaan. Program “Polri Lestarikan Bumi” dan “Ladang Harapan” Polda Papua adalah nyanyian tentang bagaimana polisi bisa menjadi penanam, bukan hanya penjaga. Aiptu Yosafat, dengan cangkulnya, adalah penyair yang menulis sajak harapan di tanah Papua, tanah yang terlalu lama diberi stigma konflik. Ia datang, bukan dengan titah, melainkan dengan benih.

Dan barangkali, dari ladang sederhana ini, Indonesia akan tersadar: ketahanan pangan sejati bukanlah buah proyek raksasa, melainkan sulingan dari tangan-tangan kecil rakyat yang diberi kepercayaan untuk menabur, bertumbuh, dan mekar. (***)

Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *