Paraparatv.id | Sentani | – Dugaan praktik penipuan harga mencuat di jaringan ritel modern Alfamidi cabang Dobonsolo, Distrik Sentani Kota, Kabupaten Jayapura. Konsumen diduga disesatkan secara sengaja melalui perbedaan harga antara label di rak dan harga yang tercetak di struk kasir.
Pada Jumat (11/04), tim Paraparatv.id menemukan kasus nyata manipulasi harga pada produk Nescafe Latte kaleng 220ML. Di rak, harga tercantum Rp 8.700. Namun saat pembayaran, harga melonjak jadi Rp 10.300 — selisih hampir 20 persen tanpa pemberitahuan atau tanda apa pun di lokasi penjualan.
Keesokan harinya, Sabtu (12/04), praktik serupa kembali terjadi saat tim membeli dua kaleng Nescafe Cappuccino dan satu kaleng Nescafe Latte. Ketika dikonfirmasi ke petugas, mereka berdalih bahwa harga di rak adalah milik varian lain, dan mengakui bahwa label harga Nescafe Cappuccino “belum dipasang”.
Tidak ada permintaan maaf. Tidak ada solusi. Dan yang paling mengkhawatirkan: tidak ada upaya koreksi di tempat.
Lebih parahnya, saat diminta kontak penanggung jawab Alfa Midi wilayah Jayapura, konsumen justru diarahkan ke nomor layanan yang tercetak di struk belanja. Saat dihubungi via WhatsApp, tak ada respons yang menanggapi substansi keluhan. Hanya jawaban normatif soal ketersediaan barang — seolah menghindar dari persoalan inti.
Bukan Insiden Tunggal: Dugaan Pola Sistematis
Ini bukan kejadian satu kali. Paraparatv.id mencatat bahwa kasus serupa pernah terjadi sebelumnya, dengan produk dan selisih harga yang identik. Tanpa penjelasan, tanpa papan peringatan, dan tanpa itikad koreksi dari pengelola toko.
Fakta bahwa ketidaksesuaian harga ini terus berulang menunjukkan kemungkinan adanya pola sistematis — bukan sekadar kelalaian teknis. Konsumen membayar lebih dari yang mereka lihat di rak, dan banyak dari mereka tidak sadar sedang dirugikan.
Pertanyaannya: berapa banyak konsumen yang selama ini tertipu tanpa mengetahui?
Ritel Raksasa, Rakyat Kecil Tersingkir
Di balik ekspansi besar-besaran Alfamidi di Jayapura, pedagang kecil makin terpinggirkan. Mereka tidak mampu bersaing dengan tampilan modern dan fasilitas nyaman yang ditawarkan ritel besar. Namun ironisnya, justru di dalam kenyamanan itu, tersembunyi praktik penyesatan harga.
“Omzet kami turun drastis sejak ritel itu buka. Orang pikir harga di sana murah, padahal tidak selalu begitu,” ujar seorang pedagang di Pasar Lama Sentani.
Alfamidi bukan hanya mengubah kebiasaan belanja masyarakat, tapi juga mempersempit ruang hidup pelaku usaha kecil di pasar tradisional — yang justru selama ini menjadi tulang punggung ekonomi lokal.
Lemahnya Pengawasan, Diamnya Otoritas
Ketidaksesuaian harga ini jelas melanggar hak konsumen dan bertentangan dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pelaku usaha diwajibkan memberikan informasi harga yang benar, jelas, dan tidak menyesatkan. Namun hingga kini, tidak terlihat langkah konkret dari Dinas Perdagangan maupun LPKD Kabupaten Jayapura.
Tidak ada audit harga. Tidak ada sanksi. Tidak ada transparansi. Dan hasilnya: konsumen terus dirugikan, sementara pelaku usaha tetap melenggang.
Dengan skala bisnis sebesar Alfamidi, praktik semacam ini tidak bisa lagi dianggap remeh. Sudah waktunya publik bersuara dan menuntut tindakan nyata. Karena yang dipertaruhkan bukan hanya uang receh di kasir, tapi kepercayaan masyarakat terhadap sistem perdagangan yang adil dan jujur. (Arie)