Di tengah arus modernisasi dan serbuan makanan instan, Pendeta Martha Yakarimilena tetap teguh mempertahankan warisan kuliner khas Papua yakni Sagu.
Catatan : Ari Bagus Poernomo
DIIRINGI musik reggae yang dibawakan sejumlah band lokal Papua dalam Perhelatan Papua Reggae Camp yang dilaksanakan di Sentani Timur, Pdt. Martha Yakarimilena pun asik membuat olahan sagu yang dipesan oleh pelanggannya.
Baginya, sagu bukan sekadar makanan tradisional, tetapi juga simbol identitas, ketahanan pangan, dan peluang ekonomi bagi masyarakat. Dengan ketekunan dan inovasi, ia telah membawa olahan sagu ke tingkat yang lebih tinggi—dari dapur rumah hingga pasar yang lebih luas.
Mengolah Sagu di Tengah Pelayanan Gereja
Sebagai seorang pendeta, Pdt. Martha tidak hanya berbicara soal iman dan spiritualitas di tengah jemaatnya. Dalam setiap pelayanannya, ia juga selalu membawa pesan penting tentang sagu. Bagi dia, sagu bukan sekadar makanan, tetapi juga bagian dari kehidupan, budaya, dan berkat yang harus dilestarikan.
“Saya selalu berbagi tentang pentingnya sagu. Tuhan memberikan kita sumber pangan yang luar biasa ini, maka kita harus merawat dan memanfaatkannya dengan baik,” ujarnya.
Pdt. Martha sering mengajarkan cara mengolah sagu kepada ibu-ibu jemaat, mengubahnya menjadi beragam makanan lezat yang bernilai ekonomi tinggi. Dari papeda, sagu bakar, hingga jajanan kekinian, ia membuktikan bahwa sagu bisa menjadi makanan yang tetap relevan dengan selera zaman sekarang.
‘Samarasta’, Kreasi Sagu yang Mencuri Perhatian
Di antara banyak inovasi yang dibuatnya, produk paling populer adalah Samarasta—singkatan dari Sagu Mama Rasa Tambah. “Nama ini bukan saya yang buat tapi anak-anak yang buat dan saya masukan karena anak-anak bilanh rasanya bikin ketagihan. Sekali mencoba, pasti minta tambah lagi,” katanya dengan bangga.

Samarasta adalah olahan sagu dengan kombinasi bahan alami khas Papua, seperti sagu, gula merah dan kacang tanah yang menghasilkan tekstur lembut dan rasa yang khas. Tak hanya disukai masyarakat lokal, kuliner ini juga mulai menarik perhatian wisatawan yang ingin mencicipi keunikan rasa sagu.
Dari Warisan Budaya ke Bisnis Keluarga
Apa yang dimulai sebagai upaya mempertahankan budaya kini telah berkembang menjadi bisnis yang menjanjikan. Awalnya, Pdt. Martha hanya membuat olahan sagu untuk keluarga dan jemaat gereja. Namun, tingginya minat masyarakat membuatnya berpikir untuk mengembangkan usaha lebih serius.
Dengan pemasaran dari mulut ke mulut serta bantuan media sosial, produk sagu yang ia kembangkan kini memiliki omzet jutaan rupiah per bulan. Bahkan, usaha ini telah diwariskan kepada putrinya, yang kini mengelola produksi dan pemasaran dengan lebih profesional.
“Saya bersyukur usaha ini bisa diteruskan oleh anak saya. Dia yang sekarang mengurus semua operasional, sementara saya tetap fokus dalam pelayanan dan mengedukasi masyarakat tentang pentingnya sagu,” jelasnya.
Pesan untuk Generasi Muda: Bangga dengan Warisan Lokal
Bagi Pdt. Martha, tantangan terbesar saat ini adalah menarik minat generasi muda untuk tetap melestarikan sagu. Ia melihat bahwa anak-anak muda cenderung lebih tertarik pada makanan cepat saji dan mulai melupakan makanan khas daerah.
“Sagu bukan makanan kuno, justru ini makanan masa depan. Lebih sehat, bebas gluten, dan bisa diolah menjadi banyak jenis makanan. Anak muda harus bangga dengan warisan ini,” pesannya penuh semangat.
Dengan inovasi dan kegigihannya, Pdt. Martha Yakarimilena telah membuktikan bahwa sagu bukan sekadar makanan tradisional, tetapi juga aset berharga yang memiliki potensi besar bagi ketahanan pangan dan ekonomi masyarakat. Lewat tangannya, sagu telah bertransformasi dari sekadar warisan budaya menjadi peluang bisnis yang menjanjikan—dan kini, tongkat estafet itu telah diteruskan oleh generasi berikutnya. (***)