Meski berasal dari keluarga kurang mampu dan harus hidup di Panti Asuhan, namun gadis ini berhasil membuktikan diri dan meraih cita-citanya sebagai anggota Polri.
Catatan : Ari Bagus Poernomo
SIANG itu, Theresia Watimena dikejutkan dengan kedatangan seorang anak asuhnya yang telah lama tidak ia temui.
Kedatangan anak asuhnya itu cukup membuat dirinya syok, hal itu tergambar dalam ekspresinya yang nampak sangat kebingungan saat melihat anak perempuan yang pernah ia bimbing datang menemuinya dengan seragam Polisi di Wisma Sekolah Dasar Panti Asuhan Putri Kerahiman, Hawai, Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua.
“Ko (kamu), dari mana saja, mama rindu sekali. Kenapa tidak bilang-bilang kalau sudah jadi Polisi sekarang” kata Theresia sembari memeluk anak asuhnya itu.
Theresia Watimena terkejut melihat anak asuhnya pulang dengan seragam Polri. Foto :Arie Bagus Poernomo
Meski Theresia bukanlah ibu kandung dari anak perempuan yang kini telah menjadi anggota Polri itu, namun dirinya mengaku bangga atas pencapaian yang berhasil diraih oleh anak asuhnya itu.
Lince Huby, gadis Papua kelahiran Selemik, Kabupaten Jayawijaya, Papua Pegunungan yang pada 01 April lalu genap berusia 24 tahun ini dapat menjadi cerminan bagi seluruh generasi muda Papua yang saat ini tengah menempuh pendidikan dan ingin meraih cita-citanya dalam seluruh aspek profesi.
Lince merupakan anak kedua dari pasangan Yanses Huby dan Tosina Wetipo. Semasa kecil Lince beserta 4 saudaranya hidup dalam garis kemiskinan.
Meski hidup dalam kemiskinan, Yanses Huby dan istrinya selalu berupaya agar anak-anaknya tetap dapat bersekolah dan mendapatkan pendidikan yang layak.
Namun sayang perjuangan sang ayah saat itu yang hanya kerja serabutan hasilnya kurang memuaskan sehingga tidak dapat membiayai sekolah keempat anaknya.
Saat itu Lince bersama kakaknya sempat tidak melanjutkan pendidikan selama satu tahun.
Meski saat itu, Lince yang baru lulus Sekolah Dasar belum dapat melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) namun dirinya tidak kenal lelah untuk berdoa dan tetap membantu kedua orang tuanya.
“Dulu waktu masih di Wamena, setiap hari minggu saya ke gereja untuk ikut misa dan setiap ada kegiatan di gereja saya selalu ikut. Waktu itu saya selalu berdoa, Saya cuma minta Tuhan kasih berkat yang baik untuk saya punya bapa dan mama supaya saya dan kaka bisa lanjut sekolah” katanya.
“Jadi itu saja sa (saya) punya doa setiap hari supaya sa bisa masuk SMP dan kakak bisa lanjut SMA kelas 2” ungkapnya.
Pergumulan dalam doa selama kurang lebih setahun lamanya itu dijawab oleh Tuhan.
Medio 2014 kediaman, kediaman Keluarga Yanses Huby kedatangan seorang tamu yang tidak pernah dikenal oleh keluarga itu sebelumnya.
Tamu yang datang berkunjung ke kediaman keluarga Huby, tempat Lince dan saudara-saudaranya bernaung itu adalah seorang Imam Gereja Katolik bernama Pastur Ivan Simamora, OFM.
Saat itu Pastur Ivan Simamora, OFM baru pertama kalinya ditugaskan oleh Keuskupan Jayapura dan Ordo Fransiskan untuk melayani umat di wilayah Lembah Baliem.
Dalam kunjungan itu, Pastur Ivan meminta kepada Yanses untuk membawa Lince untuk tinggal di Pastoran agar dapat melanjutkan pendidikan di tingkat SMP.
Melihat permintaan Pastur Ivan merupakan hal yang baik untuk masa depan anaknya, Yanses pun dengan bijaksana merelakan putrinya itu untuk ikut tinggal bersama Pastur Ivan Simamora, OFM di Pastoran Paroki Musatfak, Wamena.
“Pastur Ivan Simamora ini orang Medan. Waktu itu saya diajak tinggal bersama beliau di Pastoran sampai saya lulus SMP. Setelah Lulus SMP saya dibawa lagi ke Sentani untuk masuk SMA. Saat itu saya di masukan ke Asrama Antonius Padua” kata Lince.
Sekiranya 7 bulan sudah Lince tinggal di Asrama itu dan melanjutkan pendidikan di salah satu SMA yang ada di Kota Sentani, dirinya kedatangan beberapa biarawati yang hendak menjemputnya untuk tinggal di Panti Asuhan Putri Kerahiman yang ada di Hawai, Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura.
Melihat niat baik dari para suster biarawati itu memiliki maksud agar dirinya mendapatkan tempat yang layak untuk belajar pendidikan formal dan non formal, Lince pun langsung mengiyakan ajakan itu.
3 tahun tinggal bersama para biarawati yang melayani di Panti Asuhan itu, Lince berhasil lulus dengan nilai terbaik di sekolahnya.
Selepas tamat dari bangku SMA beberapa tahun silam, Lince tidak langsung bekerja. Meski belum mendapatkan pekerjaan namun saat itu dirinya memutuskan untuk membantu para biarawati di Panti Asuhan Putri Kerahiman untuk membimbing adik-adiknya yang ada disana.
“Saya waktu itu belum kerja. Cita-citan saya awalnya bukan Polisi tapi perawat, lalu karena saya sering interaksi dengan suster (biarawati) disini saya sempat berpikir untuk jadi suster biara juga”
“Tapi setelah saya dapat info kalau kakak saya juga sudah jadi Polwan, saya putuskan untuk tes Polisi. Kenapa Polisi karena saya lihat kakak saya gagah sekali dia pakai baju Polisi jadi saya termotivasi untuk ikut jejaknya dia”
“Dan syukur Puji Tuhan, tahun lalu saya tes Polisi langsung lolos sebagai anggota Polisi dan langsung ditugaskan di Polres Supiori. Tapi tahun ini saya sudah di mutasi kembali ke tempat saya asal” ungkapnya.
Lince mengaku, dalam mengikuti seluruh tahapan seleksi dan rekrutmen anggota Polri dirinya tidak pernah mengeluarkan uang sepeserpun untuk membayar panitia penerimaan.
“Gratis kaka, saya tidak pernah keluar uang seperti yang orang-orang bilang kalau mau jadi Polisi harus bayar panitia dan lain-lain. Tidak pernah ada pembayaran dalam bentuk apapun dan alasan apapun, semua gratis. Paling cuma ongkos taksi sama ojek saja. Cuma itu”
“Kalau ada yang minta bayar ya tidak mungkin saya bisa jadi Polwan sekarang, karena saya anak dari Panti Asuhan kasian” tukasnya.
Lince Huby adalah potret baik generasi Papua yang berhasil meraih asa dengan kerja keras dan tekat yang kuat serta takut akan Tuhan.
Selain itu, dirinya juga berhasil mematahkan stigma sosial negatif yang sering dialamatkan kepada anak-anak yang berasal dari Panti Asuhan yang sering disebut sebagai anak yatim-piatu.
Kata yatim-piatu yang sering dialamatkan kepada anak-anak dari Panti ataupun yang telah ditinggal mangkat oleh orang tuanya itu merupakan suatu penghakiman sosial secara tidak langsung kepada anak-anak yang kurang beruntung itu.
Melansir dari berbagai sumber, Gereja Katolik adalah salah satu lembaga yang menolak penggunaan kata Yatim-piatu di seluruh dunia bagi anak-anak yang kurangnya beruntung.
Karena menurut pandangan Gereja Katolik semua anak sama di mata Bapa. Tidak ada satupun perbedaan. Karena setiap anak memiliki hak yang sama atas kerajaan surga.
Bahkan dalam Injil, Yesus sendiri mengatakan “Aku tidak akan meninggalkan kamu sebagai yatim piatu. Aku akan kembali kepadamu” Yohanes 14:18. (***)