Example floating
Example floating
Sosial Budaya

Mereka Melestarikan Sagu dan Ajari Bayi Makan Papeda

468
×

Mereka Melestarikan Sagu dan Ajari Bayi Makan Papeda

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Paraparatv.id | Jayapura | Sagu masih menjadi makanan pokok bagi warga di Kampung Yoboi. Turun temurun mereka mengajari bayi mengkonsumsi papeda Hutan sagu di kampung itu masih utuh.

Yoboi adalah salah satu kampung di Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua. Kampung ini hanya bisa dijangkau dengan menggunakan speed boat melalui Danau Sentani.

Perjalanan ke kampung itu memakan waktu kurang lebih 15 menit dari dermaga Yahim.Biaya speed boat ke kampung ini sebesar Rp10 ribu.

Kepala Kampung Yoboi, Sefanya Wally mengatakan sekitar 100 kepala keluarga yang mendiami kampung tersebut. Rata-rata warga di kampung itu membangun rumah di atas kulit air Danau Sentani.

Mereka masih mempertahankan sagu sebagai makanan pokok, bayi berusia satu minggu sampai enam bulan sudah diberi makan papeda. Papeda terbuat dari bahan utama tepung sagu.

Hingga kini, menu sagu dan ikan dari Danau Sentani, masih menjadi makanan utama, selain beras/nasi.

Pohon sagu bagi warga Yoboi, multi fungsi.Mama Hanny Felle, salah satu warga menyebut, fungsi pohon sagu banyak.

Daunnya biasa dipakai untuk membuat atap rumah. Lalu, gabah/pelepah sagu dipakai untuk dinding rumah.

“Kalau buah sagu bisa dipakai untuk tirai, dibuat jadi anting dan gelang. Kulit sagu bisa dimanfaatkan untuk lantai rumah, perangkap ikan,”kata Hanny.

Selanjutnya, pucuk pelepah sagu bisa digunakan untuk meramas sagu, juga sebagai bedeng untuk tanaman.

Lumayan tahan lama. Ampas sagu sebagai pengganti tanah ditaruh dalam bedeng untuk menanam sayur, bunga, bumbu dapur dan jenis tanaman lainnya. Tanpa pupuk, modal disirami air saban hari, tanaman tumbuh subur.

Pelestarian SaguBagi warga Kampung Yoboi, ada tiga jenis pohon sagu yang tidak boleh hilang lantaran mempunyai nilai yang tinggi.

Ketiga jenis itu yakni pohon sagu folo, sagu yebha dan sagu bhara.Ketiga jenis pohon sagu ini diolah dan disajikan saat acara pesta, pernikahan, dan acara kepala suku.

Hingga kini, tiga jenis pohon sagu itu masih dipertahankan. Kini, ada 28 jenis pohon sagu di Kampung Yoboi.Sara Wally, salah satu pemuda di Kampung Yoboi menyebut, pada medio Maret 2019 usai bencana banjir bandang menerjang Sentani, sebagian warga di kampung itu mengungsi.

Peristiwa itu tak mematahkan semangat para pemuda di kampung itu.

Dibawah pimpinan Billy Tokoro, mereka bertekad memajukan wisata di kampungnya. Sekitar Juni-Juli 2019, para pemuda mulai membuat jembatan di dermaga masuk kampung itu lalu dipolesi cat warna-warni.Lantaran catnya, jembatan tersebut dijuluki wisatawan dengan sebutan jembatan warna-warni.

Tak sampai disitu, di 2021 para pemuda itu berpikir untuk membuat festival ulat sagu agar menarik banyak orang berkunjung ke Kampung Yoboi.

Sebelum perhelatan festival, mereka membangun jembatan. Berkat bantuan papan dan tiang kayu dari Dinas Kehutanan Provinsi Papua, para pemuda bersama warga di kampung itu gotong royong membangun jembatan dengan panjang 420 meter di kawasan hutan sagu.

Dengan tujuan menghubungkan kampung dengan kawasan hutan sagu. Tapi juga memudahkan warga disitu masuk ke hutan sagu.Jembatan yang berada diujung kampung itu menjadi salah satu ikon wisata baru. Bagi warga yang datang berwisata ke Yoboi dapat mengunjungi kawasan hutan sagu, bisa tahu bahwa warga dikampung itu melestarikan pohon sagu.

“Tujuan dari jembatan ini adalah salah satunya tempat dimana memperkenalkan ke tanah air bahwa Kampung Yoboi masih menjaga kelestarian sagu. Jadi, lewat jembatan itu mereka bisa memperlihatkan bahwa hutan sagu masih ada di Yoboi,”ujar Sara Wally.

Warga di Kampung Yoboi membedakan tumbuhan sagu menjadi 22 jenis, yang terdiri atas 10 jenis sagu berduri (bhara abesung, ruruna, rondo, mangno, waliha, phui, habhelea, dan mongging).

Selanjutnya,12 jenis tak berduri (yebha, folo, wani, phane, osukhulu, hili, yakhe, ebung yebha, hopholo, yokhuleng, folo wakhe, dan phane wakhe).

Dari 22 jenis sagu itu, ada empat yang mereka sebut sebagai sagu utama, yaitu phara, rondo, yebha dan folo, karena memiliki kualitas terbaik yang hanya dipakai saat ritual dan upacara adat yang biasanya dipimpin oleh ondoafi, pemimpin tertinggi di kampung.

Menurut kajian Badan Penelitian dan Pengembangan Kabupaten Jayapura bersama Fakultas Kehutanan Universitas Papua pada 2018, luas hutan sagu di enam distrik di kabupaten itu 3.302,9 hektare dan 2.000 hektare di antaranya ada di Distrik Sentani termasuk di kampung Yoboi.

Upaya PemerintahSesuai data dari Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Jayapura, luas kawasan hutan sagu di kabupaten itu sekitar 5.417,90 hektare.

Lahan sagu paling luas di sekitar Distrik Sentani yakni sekira 1.964,50 hektare.Kepala Bidang Produksi dan Perlindungan Tanaman Perkebunan Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Jayapura, Yohanis Kampermase mengaku kini lahan kawasan hutan dijual dan ditimbun warga pemilik hak ulayat. Meski begitu, pihaknya masih melakukan pembibitan dan membudidayakan sagu.

Proses dari mulai penanaman bibit pohon sagu hingga dipanen minimal 7 sampai 8 tahun atau rata rata 15 sampai 25 tahun.

Melalui bidang produksi dan perlindungan tanaman perkebunan, membudidayakan sekitar 1.000 pohon sagu, tiap tahun di atas lahan seluas 10 hektare. Jarak penanaman sagu 10 kali 10.

“Produksi sagu kita sekarang ini kurang lebih mencapai 340,93 ton diseluruh distrik yang ada di Kabupaten Jayapura. Ini memang sangat kecil sesuai dengan kondisi luas lahan sagu,”kata Yohanes.

Tahun ini, Bidang Produksi dan Perlindungan Tanaman Perkebunan Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Jayapura hendak mengembangkan kawasan hijau hutan sagu di sepanjang jalan Yabaso, tepatnya tempat keluar- masuk penumpang Bandar Udara (Bandara) Sentani.

Dengan begitu, para penumpang Bandara melewati kawasan hijau hutan sagu. Tapi juga menjadi pusat pengembangan dan penjualan sagu disitu.

Pengembangan itu sesuai keinginan Bupati setempat, Mathius Awoitauw.Namun, hingga kini belum dikembangkan lantaran separu lahan disitu sudah dijual oleh pemiliknya.

Selain itu, tahun ini juga, Badan Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) sudah melepas sagu unggulan di Kabupaten Jayapura sebagai salah satu varietas di Indonesia.

Ada tiga jenis sagu yang didaftarkan antara lain sagu yebha, sagu ruruna dan sagu rondo.

Walaupun Papua punya 20 lebih varietas sagu, tetapi tiga jenis sagu itu yang diusulkan Ke kementerian untuk disertifikasi sebagai sagu asli Kabupaten Jayapura, lantaran langka.Sagu kebanyakan pengembangannya melalui home industri/produksi rumah tangga atau usaha mikro kecil menengah (UMKM).

Sebagian lagi dijual basah untuk dikonsumsi. Mayoritas warga yang tinggal disekitar Danau Sentani sampai saat ini masih mengkonsumsi sagu sebagai makanan pokok.

“Untuk itu, kalau bisa dalam acara rapat atau acara lainnya, ada kebijakan sehari penuh mengkonsumsi sagu,”ujarnya.

Pemerintah Kabupaten Jayapura secara regulasi sudah menerbitkan perda pelarangan penebangan hutan sagu agar tetap lestari tapi terkendala kepemilikan hak ulayat.

Bupati Mathius Awoitauw juga tengah memprogramkan pasangan yang baru menikah wajib menanam satu pohon sagu.Tapi tidak berjalan dengan baik.

Jika seperti itu, maka lama kelamaan sagu terancam punah. Sebenarnya, sudah ada Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2000 tentang Pelestarian Kawasan Hutan Sagu, tapi aturan itu seperti mati suri.

Kepala Bidang Konsumsi dan Penganekaragaman Pangan Dinas Ketahanan Pangan Kabupaten Jayapura, Yulianie Mamengko menyebut, tahun ini pihaknya menggunakan dana otonomi khusus untuk membeli mesin pengolahan sagu.

Mesin itu digunakan untuk memarut sagu, pengepresan hingga menjadi tepung sagu. Tepung sagu dapat diproses dengan menggunakan mixer menjadi beras sagu.

Jika sudah menjadi beras maka harus dimasukan dalam oven agar matang dan bertahan lama, tidak berjamur.

“Mesin pengolahan sagu kami berikan ke empat kelompok yaitu kelompok Demta, kelompok Doyo Baru, kelompok Sereh dan kelompok Namblong,”katanya.

Empat kelompok yang mendapat mesin itu diharapkan bisa memproduksi beras sagu di tingkat Kabupaten Jayapura.

Hingga kini, Dinas Ketahanan Pangan Kabupaten Jayapura membina 19 distrik di kabupaten tersebut, yang tergabung dalam kelompok pemberdayaan kesejahteraan keluarga (PKK) untuk mengolah sagu.

Pembinaan itu bertujuan untuk mempertahankan pangan lokal 10 tahun kedepan.

Untuk itu, para ondoafi diharapkan tak menjual area kawasan hutan sagu. Kalau sudah dijual maka hutan sagu bakal berubah jadi perumahan, lama kelamaan sagu akan hilang.Dinas Ketahanan Pangan Kabupaten Jayapura memandang hasil tepung sagu/sagu basah diolah untuk dikonsumsi masyarakat.

Sagu masuk kategori makanan sehat karena mengandung unsurunsur yang mengikat gula.

“Apabila orang yang punya riwayat penyakit diabetes bisa mengkomsumsi sagu dan makanan yang mengandung gula,”ujarnya.

Sagu juga baik untuk dikonsumsi oleh anak-anak yang mengalami autis lantaran mengandung gula.

Sagu juga baik untuk anak-anak stunting karena mengandung kalsium yang tinggi dan karbohidrat sekitar 90 persen, tak ada vitamin dalam sagu.

Tak hanya itu, kandungan kalsium dalam sagu bakal memperpanjang tulang belakang, membuat anak semakin tinggi bila mengkonsumsi sagu.

Mengapa zaman dahulu orang Papua postur badannya tinggi besar lantaran mereka tidak makan nasi hanya mengkonsumsi sagu.

Sagu juga dapat diolah menjadi pitza, mie sagu, ice cream dan aneka kue lainnya. Menurut penelitian dunia, sagu terbaik di Kabupaten Jayapura.

Di 2018 lalu, tim dari Kabupaten Jayapura meraih juara dua saat mengikuti lomba membut pitza ikan berbahan dasar sagu.

Pekan sagu Nusantara yang diselenggarakan Pemerintah Provinsi Papua melalui Dinas Tanaman dan Holtikultura mencatat rekor makan mie sagu sebanyak 2.500 mangkok, jumlah itu masuk catatan Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai rekor baru.Bayi Makan PapedaSejumlah bayi di Kampung Yoboi, rata-rata berusia satu minggu hingga enam bulan sudah mengkonsumsi papeda yang diaduk dengan kuah ikan, dan kuah sayur.

Olfina Sokoy, salah satu warga menyebut bayi berusia enam bulan sudah diberi makan papeda yang dicampur dengan kuah sayur.

Papeda yang diberi bakal dikonsumsi hingga berusia satu tahun.Bahkan, bayi baru berusia sebulan namun rewel dan terus menangis maka orangtuanya memberi ia makan papeda. Walau masih sebulan namun tak berdampak.

“Dari anak baru lahir saja umur satu bulan kalau dia menangis terus mamanya tau bahwa anak itu lapar biar dia sudah minum susu,tetapi masih menangis terpaksa dikasih makan papeda,”kata Sherlly Sokoy, warga lainnya.

Belum sebulan pun, baru seminggu atau dua minggu sudah diajari makan papeda jika terus menangis, walau sudah minum susu ibunya/asi.

Papeda yang dikasih dipotong hingga kecil sehingga tak tersangkut ditenggorokan bayi.Bayi makan papeda itu sudah menjadi tradisi turun temurun dari nenek moyang di Kampung Yoboi hingga kini.

Debora Wally yang lahir di 1947 silam, mengaku sejak ia berusia satu minggu, orangtuanya sudah memberi makan papeda yang dipotong kecil-kecil.

Diumur satu minggu itu, potongan papeda yang diberi kepada bayi tak banyak, cukup tiga potong. Lantaran kalau lebih, maka berbahaya bagi bayi, akan tertempel dihidung atau tenggorokan.

Jika sudah beranjak empat sampai enam bulan, papeda yang diberi kepada bayi dicampur dengan kuah sayur atau ikan.

Meski dari sisi kesehatan tak diperbolehkan, tetapi itu menjadi budaya yang diajarkan sampai saat ini.

Papeda yang diberikan kepada bayi itu diambil dari wadah loyang lalu dipotong dengan senduk hingga kecil-kecil sehingga mudah dicerna. Potongan papeda itu harus teliti jangan sampai ada sebagian yang besar lantaran bisa membuat bayi susah bernafas.

Tidak hanya memberi makan, ketika sudah berusia satu tahun, orangtua akan mengajari bagimana anaknya memutar papeda dari wadah loyang kedalam piring untuk dimakan.Dengan begitu, anak itu mahir dan tahu bahwa papeda adalah salah satu makanan khas Papua.

Dimanapun mereka berada, diluar Sentani atau diluar Papua, papeda tetap dihati dan jadi makanan pokok.

Dari sisi kesehatan, pemberian papeda kepada bayi dibawah usia enam bulan punya efek samping. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Jayapura, Khairul Lie menjelaskan setiap ibu yang melahirkan wajib memberikan Air Susu Ibu (ASI) secara eksklusif selama enam bulan sejak anaknya lahir.

ASI eksklusif perlu diberikan selama enam bulan lantaran pada masa itu bayi belum memiliki enzim pencernaan yang sempurna untuk mencerna makanan atau minuman lain.

Terlebih semua jenis nutrisi yang dibutuhkan oleh bayi sudah bisa dipenuhi dari ASI. Saat memasuki usia 6 bulan, bayi baru diperkenalkan dengan makanan pendamping ASI (MP-ASI), tetapi pemberian ASI tetap diteruskan hingga bayi berusia 2 tahun.

“Oleh sebab itu kita selalu memberitahu, karena ASI eksklusif untuk bayi yang diberikan ibu mempunyai peranan penting yakni meningkatkan ketahanan tubuh bayi, kecuali ada indikasi medis ibu tidak boleh memberi ASI eksklusif,”ujar Khairul.

Salah satu cara menciptakan kenyamanan bagi ibu menyusui melalui pojok ASI di puskesmas, yakni sebuah ruangan yang disediakan khusus untuk seorang ibu memberikan ASI kepada bayinya.Para petugas gizi dan bidan juga terus memberikan edukasi kepada para ibu yang menyusui.

Cakupan ASI eksklusif di Kabupaten Jayapura, cukup rendah, baru sekitar 40 persen yang sebelumnya hanya mencapai sekitar 25 persen.Kini sedikit meningkat, hal ini harus terus menerus disampaikan kepada masyarakat bahwa dengan air susu ibu, sudah cukup nutrisinya.

“Kalau kita kasih makanan atau memperkenalkan makanan pada usia dibawah enam bulan nantinya akan menimbulkan masalah pada pencernaannya, itu yang harus masyarakat pahami,”katanya.

Dinas Kesehatan Kabupaten Jayapura berupaya menghindari agar tidak terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan misalnya ada kasus-kasus diare pada bayi karena memang ususnya belum mampu untuk menerima makanan yang sifatnya lebih keras dari ASI.Khairul menyarankan, baiknya bayi berusia enam bulan barulah diperkenalkan Papeda atau makanan-makanan yang lebih lembut. Bayi dibawah enam bulan sebaiknya tidak usah, cukup diberi ASI.

Jika bayi diperkenalkan dengan makanan keras, maka berpeluang terjadi diare pada bayi. Terkait itu, Dinas Kesehatan Kabupaten Jayapura terus mengedukasi masyarakat terutama kaum ibu agar hanya memberi ASI kepada bayinya yang masih dibawah umur enam bulan. Papeda yang diberikan kepada bayi jika dicampur dengan ikan dan sayur mengandung protein.

Jika hanya papeda tanpa sayur dan ikan maka hanya karbohidrat yang masuk kedalam tubuh.

Data terkait bayi berusia empat hingga enam bulan di Yoboi yang sudah mengkosumsi papeda di Pustu Kampung Yoboi tak sama dengan data yang ada di Puskesmas.Demikian juga dengan data yang di kantongi Dinas Kesehatan Kabupaten Jayapura, juga tak sama dengan data yang di Puskesmas. (*/SIL).

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!