Palang-memalang fasilitas publik di Papua bukanlah hal yang baru dan ini adalah persoalan serius yang tidak boleh terus diabaikan.
Catatan : Ari Bagus Poernomo
PAGI sekali diawal Juni 2024, saya mendapatkan telepon tidak terduga dari seorang sahabat yang juga merupakan aktivis di Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua.
Dalam sambungan telepon itu, Jhon Maurits Suebu meminta untuk saya segera ke Distrik Depapre untuk melihat kondisi Sekolah Dasar Negeri Inpres Depapre yang di palang atau disegel oleh Demianus Demetouw, pemilik hak ulayat dari tanah tempat berdirinya bangunan sekolah itu.
Mendapat informasi itu, saya langsung bergegas menuju lokasi pemalangan itu.
Sekiranya pada pukul 8.30 WIT setelah 45 menit berkendara mengendarai sepeda motor dari Kota Sentani, tibalah saya di sekolah itu.
Tidak orang banyak yang saya temui di lokasi pemalangan pagi itu. Hanya ada empat orang guru. Informasi dari para guru itu, pemalangan dilakukan pada Kamis (06/06) malam.
Akibatnya, Ratusan anak usia dini di Distrik Depapre, Kabupaten Jayapura, Papua terancam tidak mendapatkan pendidikan tingkat sekolah dasar karena SD Negeri Inpres Depapre di segel oleh pemilik hak ulayat
Lukas Pararem Kepala Sekolah SD Negeri Inpres Depapre mengatakan, sebelumnya tidak ada koordinasi antara pemilik hak ulayat dan pihak sekolah terkait dengan penyegelan tersebut.
Kata Lukas, beruntung penyegelan ini dilakukan setelah ujian kelulusan siswa dan ujian semester telah dilaksanakan.
Selaku kepala sekolah, Lukas mengaku pihaknya tidak memiliki kewenangan untuk memenuhi tuntutan dari pemilik hak ulayat yang telah menyegel sekolah itu.
Diungkapnya, kewenangan itu berada di dinas pendidikan dan dinas pertanahan Kabupaten Jayapura dan saat ini pihaknya tengah berkoordinasi dengan pimpinan di dua dinas terkait.
Ditambahkannya, dengan adanya penyegelan ini pihaknya terancam tidak bisa membuka pendaftaran bagi siswa baru untuk kelas satu di sekolah tersebut.
“iya, kemungkinan besar seperti itu. Kami tidak bisa buka pendaftaran untuk siswa baru yang rencananya nanti tanggal 1 bulan juli kita buka pendaftaran siswa baru. Kalau sampai pemalangan ini dia berlanjut berarti tidak ada penerimaan siswa baru” singkatnya.
Usai mendapatkan sejumlah informasi dari para guru itu, saya kembali bergerak menuju kediaman dari pemilik hak ulayat tempat gedung sekolah itu berdiri.
Setibanya di kediaman Demianus Demetouw, hanya ada dua orang yang saya temui yakni istri dan seorang kerabatnya yang lain
“Bapak lagi pergi ke Polsek ade, sedikit lagi sudah kembali, tunggu saja” kata istrinya.
Setelah menunggu kurang lebih 15 menit, terlihat seorang pria paruh baya yang mengenakan kaos berwarna biru dan topi sedang berjalan kaki dari arah timur sambil menjinjing sebuah map mendekati kami.
“Oh, itu bapak sudah datang” kata istrinya.
Setibanya di rumah, dengan cekatan ciri khas perempuan Papua yang tinggal di kampung langsung menyajikan minum untuk suaminya itu.
Setelah duduk beberapa saat, Demianus Demetouw yang masih terengah-engah usai berjalan kaki langsung membuka pembicaraan terkait dengan pemalangan yang ia lakukan.
Dalam pembicaraan itu, terungkap bahwa aksi yang dilakukannya ini merupakan kekesalannya terhadap Pemerintah Daerah Kabupaten Jayapura.
Dimana dalam 18 tahun terakhir ini dirinya hanya menelan pil pahit dari janji yang sama terkait dengan penyelesaian lahan miliknya.
Kata Demianus, penyegelan yang ia lakukan ini merupakan langkah terakhir yang diambil pihaknya.
Karena menurutnya, dalam kurun waktu delapan belas tahun terakhir tuntutannya tidak pernah direspon dengan baik oleh Pemerintah Kabupaten Jayapura.
Bahkan menurutnya, Dinas Pendidikan Dan Dinas Pertanahan Kabupaten Jayapura hanya memberikan janji palsu kepada keluarganya.
“ini sudah delapan belas tahun ini. Padahal dia bayar di kampung harapan itu tahun 2010 sama kepala dinas sekarang ini pak mokay. Saya lihat semua sekolah sudah di bayar hanya tinggal sekolah ini. Komunikasi selama ini dengan pertanahan saja, saya pikir pertanahan dan kepala dinas ada komunikasi” katanya.
“kalau bupati bupati saya sudah buang-buang (kirim) surat (bahkan mungkin sudah jadi) sampah. (terbaru) saya bikin surat peninjauan kembali” tambahnya.
Luas lahan milik keluarga Demianus Demetouw yang digunakan untuk membangun sekolah itu adalah sebesar 3.420 meter persegi.
Untuk itu dirinya meminta agar pemerintah kabupaten jayapura dalam hal ini dinas pendidikan dan dinas pertanahan setempat agar dapat melunasinya dengan harga NJOP yang berlaku saat ini
“satu juta kali dengan tiga ribu meter sekian. Itu saja yang saya minta, tapi kami belum duduk. Karena berapa kali saya kesana (dinas pendidikan dan pertanahan) mereka bilang ini ada keluar, keluar. Padahal sekolah lain sudaj di bayar semua, hanya tinggal kita disini yang belum di bayar” pungkasnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Jayapura Ted Yones Mokay saat hendak dikonfirmasi, Jumat (07/06) terkait dengan penyegelan itu tidak berada di kantornya.
Bukan hanya SD Negeri Inpres Depapre yang disegel oleh pemilik hak ulayat. Terbaru SD Inpres Melam Hili Sentani juga dipalang oleh pemilik hak ulayat.
Untuk pemalangan terbaru ini belum diketahui apa yang menjadi alasan dari pemilik hak ulayat, namun dari sejumlah informasi yang dikumpulkan di lapangan pemilik ulayat juga menuntut agar pembayaran tanah dapat segera dibayarkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Jayapura.
Jhon Maurits Suebu, aktivis yang sebelumnya menghubungi saya mengatakan bahwa Fenomena palang – memalang bukanlah hal baru yang terjadi di Kabupaten Jayapura.
Kata dia, pemalangan yang terjadi di sejumlah fasilitas umum bahkan sekolah merupakan hasil dari ketidakbecusan pemerintah daerah.
Pemalangan yang sering terjadi itu menurutnya karena Pemerintah lebih fokus menjalankan program dan kegiatan yang bersifat seremonial ketimbang menyelesaikan persoalan tanah yang digunakan pemerintah untuk program pembangunannya.
Pria yang akrab disapa JMS ini menuturkan, pada masa lampau orang-orang tua memberikan sebidang tanah kepada pemerintah untuk membangun sekolah, rumah sakit dan fasilitas umum lainnya untuk mendukung pembangunan di suatu daerah.
“Jadi pada masa itu, orang tua kami memberikan lahan mereka kepada pemerintah dengan harapan anak-anaknya bisa sekolah dan kelak mendapatkan pelayanan yang lebih baik. Tidak ada tujuan untuk memperjualbelikan tanah pada saat itu” ungkap JMS.
Namun belakangan ini secara Nasional pemerintah memiliki suatu program yang mengharuskan setiap sekolah mendapatkan akreditasi.
Dan salah satu syarat untuk untuk mendapatkan akreditasi itu adalah sekolah harus memiliki sertifikat jual beli tanah.
Tujuan dari program akreditasi ini agar setiap sekolah yang telah terakreditasi ini kedepannya dapat dengan mudah mendapatkan bantuan dalam bentuk apapun untuk peningkatan pendidikan di sekolah itu.
“Jadi awal mulanya yang orang tua kami menghibahkan tanah untuk pembangunan sekolah dengan cuma-cuma terjadi pergeseran. Jadi kalau dulu diberikan tanpa ada tujuan apapun, sekarang pemberian itu berubah untuk memperoleh nilai ekonomis” kata JMS.
Akibat pemerintah yang hadir dengan sejumlah programnya itu akhirnya, masyarakat dipaksakan untuk memperjualbelikan tanahnya sendiri.
Oleh sebab itu, JMS meminta agar Pemerintah Kabupaten Jayapura dapat melakukan kajian yang mendalam terlebih dahulu agar pembebasan lahan tempat berdirinya seluruh fasilitas publik di daerah itu dapat diselesaikan dengan cara yang lebih terhormat.
“Karena selama ini masyarakat di Kabupaten Jayapura bukan tertutup dengan pembangunan. Masyarakat jauh lebih terbuka dengan pembangunan tetapi pemalangan-pemalangan ini terjadi karena ada janji-janji dari pemerintah yang sering diabaikan, sehingga masyarakat kesal dan melakukan pemalangan” singkatnya.
Sementara itu, Sekertaris Daerah Kabupaten Jayapura, Hanna Salomina Hikoyabi mengatakan bahwa untuk pembayaran tanah itu harus dianggarkan terlebih dahulu.
“Kita tidak bisa serta merta langsung bayar begitu saja karena harus dianggarkan lebih dulu. Tapi nanti saya coba ke lokasi dulu untuk lihat dan koordinasi dengan pemilik supaya bisa dibuka karena kasian kita punya anak-anak mau sekolah” tuturnya saat ditemui paraparatv.id di salah satu hotel di Kota Sentani, beberapa waktu lalu.
Hal berbeda di sampaikan oleh Penjabat Bupati Jayapura, Triwarno Purnomo.
Bukannya memberikan keterangan akan langkah apa yang akan dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan persoalan namun dirinya hanya memberikan himbauan kepada masyarakat untuk tidak melakukan pemalangan terhadap fasilitas publik.
“Semua terkait keberadaan gedung pemerintahan dan sekolah maupun pusat pelayanan kemasyarakatan sepanjang kita bisa duduk berbicara untuk menyelesaikan semua itu mari kita duduk bersama untuk menyelesaikannya” kata Triwarno di Lapangan Apel Kantor Bupati Jayapura, Sabtu (15/05) malam.
Terbaru masyarakat dua kampung di Distrik Sentani Timur yakni Kleu Blouw dan Asei Besar menyatakan sikap bakal memboikot pelaksanaan Festival Danau Sentani (FDS) yang akan di buka dalam beberapa hari kedepan.
Hal ini disampaikan oleh Ondofollo Kampung Asei Besar, Marthen Luther Ohee saat ditemui paraparatv.id di kediamannya, Senin (17/06) petang.
Diterangkannya, aksi boikot yang akan dilakukan ini merupakan sikap tegas dari masyarakat dari kedua kampung itu.
Dimana dalam kurun waktu 6 tahun terakhir ini telah dibohongi oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Jayapura dan Provinsi Papua terkait dengan pembebasan lahan yang telah dialihfungsikan menjadi jalan alternatif.
Luas lahan yang dengan terpaksa dibebaskan oleh masyarakat dari kedua kampung itu adalah 10 hektar.
Pembebasan lahan itu dilakukan atas permintaan Pemerintah Daerah Kabupaten Jayapura dan juga Provinsi Papua untuk mendukung pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional XX tahun 2021.
Marthen Luther Ohee mengungkapkan beberapa tahun lalu, Bupati Jayapura Mathius Awoitauw dihadapan seluruh masyarakat dari kedua kampung itu menyatakan bahwa ganti rugi pembebasan lahan itu akan dilakukan dalam waktu dekat.
Namun janji itu hingga saat yang bersangkutan turun dari tahta pemerintahannya tidak pernah terealisasi.
“PON sudah berakhir dan dusun sagu kami sudah habis dibabat tapi hingga saat ini apa yang dijanjikan oleh Mathius Awoitauw tidak pernah di tepati. Dia berjanji bukan kepada saya tetapi kepada seluruh masyarakat adat pemilik dusun sagu yang telah dibabat untuk dijadikan jalan alternatif untuk mendukung pelaksanaan PON XX” katanya.
“Saat itu Bupati Mathius bilang akan di bayar sebelum pelaksanaan PON dan hal yang sama juga disampaikan sama Kakanwil Pertanahan Provinsi Papua. Mereka bilang uangnya ada tapi sampai hari ini tidak ada tindak lanjutnya. Makan Itu hari ini kami ambil langkah tegas” tambahnya.
Lebih lanjut dikatakannya, meski pemerintah daerah pada saat itu sudah berjanji akan melakukan pembayaran atas tanah seluas 10 hektar itu, namun untuk nilai pembayarannya sama sekali belum ada kesepakatan dengan seluruh masyarakat yang ada di dua kampung tersebut.
“Untuk nilainya kita belum tahu. Untuk itu katanya nanti tim apresial yang akan melakukan perhitungannya. Karena pemerintah hanya bilang nanti kita bayar tapi sampai 6 tahun berjalan ini kami (masyarakat) hanya dijanjikan saja. Mereka bilang nanti Desember di bayar samapi sudah dua kali bulan Desember pembayaran sama sekali tidak dilakukan sampai Mathius sudah turun dari jabatannya dan tinggalkan persoalan ini” ucapnya.
Marthen mengungkapkan, untuk meminta kepastian tanah adat dari 15 suku yang ada di kedua kampung itu, dirinya beberapa hari lalu telah menemui Penjabat Bupati Jayapura, Triwarno Purnomo sekiranya dapat menyelesaikan persoalan ini.
Karena menurutnya meski yang berjanji untuk membayar pelepasan lahan itu bukanlah Triwarno Purnomo, namun selaku Penjabat Bupati yang saat ini memegang kendali atas pemerintahan di Kabupaten Jayapura maka Triwarno harus bisa menjawab dan menyelesaikan persoalan ini.
“Karena yang janji ini adalah pemerintah. Jalan ini pemerintah yang bangun. Pemerintah sudah nikmati semua itu terus masyarakat bagaimana nasibnya”
“Tadi saya sudah ketemu dengan Ketua Panitia FDS dan menyatakan kalau sampai tanggal 18 besok (hari ini) belum ada kepastian dari Pemerintah, maka seluruh aktivitas yang melalui jalan ini akan kami lumpuhkan termasuk FDS” tegasnya.
Ditempat yang sama, Tokoh Pemuda Kabupaten Jayapura, Jack Puraro menuturkan, pemalangan yang terjadi di ruas jalan alternatif itu bukanlah persoalan baru.
Karena sudah berlangsung selama 6 tahun terakhir. Oleh sebab itu harus ada kepastian dari Pemerintah Kabupaten Jayapura untuk menyelesaikan persoalan ini.
“Tapi yang disayangkan adalah, kami melihat untuk penyelesaian persoalan tanah adat kami ini Pemerintah tidak serius. Karena hanya janji diatas janji dan tidak ada tindak lanjutnya sama sekali” kata Jack.
Berkaitan dengan pelaksanaan Festival Danau Sentani tahun 2024, kata Jack, FDS ini merupakan suatu kegiatan yang digelar untuk memperkenalkan budaya dan adat seluruh masyarakat adat Sentani.
Namun kata dia, dibalik nama besar FDS hak masyarakat adat Sentani sesungguhnya diabaikan dan dizolimi oleh pemerintah daerah itu sendiri.
“Padahal mantan bupati gencar sekali bicara tentang kampung adat dan segala hal tentang adat tapi pada prakteknya justru hak masyarakat adat di zolimi dan diabaikan hingga hari ini” tutupnya.
Akademisi Unversitas Cenderawasih Jayapura, Profesor Avelinus Lefaan saat dihubungi melalui telepon seluler menjelaskan, masalah palang-memalang fasilitas publik di Papua ini bukanlah persoalan yang baru.
Bahkan kata dia persoalan ini telah berlangsung lama kurang lebih dalam 20 tahun terakhir ini.
Senada dengan JMS, Profesor Avelinus Levaan menuturkan bahwa palang-memalang yang terjadi di Papua ini diakibatkan karena suatu transformasi nilai. Sehingga perubahan sikap sosial yang baru di masyarakat.
Kata Lefaan, Tanah bagi masyarakat Papua adalah ‘IBU’ dimana masyarakat Papua pada umumnya mengantungkan hidupnya atas tanah tempatnya lahir.
Dimana, diatas tanah itu masyarakat Papua dapat bercocok tanam dan menghasilkan bahan pokok yang dapat dikonsumsi sehari-hari untuk bertahan hidup.
“Tapi setelah terjadinya perkembangan dan transformasi ekonomi sosial budaya yang tadinya tanah di Papua digunakan untuk bercocok tanam secara tradisonal berubah karena ada nilai-nilai baru yang masuk seperti nilai kapitalis” ucapnya.
“Pemalangan atas suatu fasilitas oleh masyarakat adat Papua itu merupakan suatu cara atau suatu perlawanan kepada pemerintah yang kerap semena-mena terhadap kebijakan yang dibuat” tambahnya.
Lebih jauh dikatakan, sesungguhnya masyarakat tidak masyarakat tidak melawan. Gerakan memalang ini adalah upaya agar masyarakat mendapatkan hak atas tanah mereka sendiri.
Sehingga menurutnya resistensi yang dilakukan oleh masyarakat merupakan hal yang wajar karena dibalik semua kepentingan pemerintah perlu ada dampak yang baik kepada masyarakat adat dalam hal kesejahteraan.
Dia menambahkan, jika suatu lahan digunakan untuk pembangunan itupun adalah hal yang baik tetapi perlu ada pembaruan sosial yang memberikan kesejahteraan sosial kepada masyarakat.
“Jangan malah membuat masyarakat termajinalisasi, miskin dan tertindas itu yang perlu diperhatikan” tambahnya.
Untuk mengatasi seluruh persoalan mengenai palang memalang, Pemerintah Daerah diminta untuk dapat menurunkan egonya dan duduk bersama masyarakat untuk mencari titik temu mengenai persoalan sosial yang akan terjadi.
Karena akibat dari suatu aktivitas palang memalang akan memiliki dampak yang cukup luas salah satunya adalah konflik sosial. Karena Pemalangan merupakan resistensi adat menuntut ‘kemerdekaan atas tanah’ sendiri. (***)