Example floating
Example floating
Sosial Budaya

Festival Danau Sentani : Cerminan Plagiarisme yang Merusak Generasi

7918
×

Festival Danau Sentani : Cerminan Plagiarisme yang Merusak Generasi

Sebarkan artikel ini
Tari Kasuari yang di peragakan oleh sanggar Astouw dari Distrik Sentani Timur dalam pagelaran Festival Danau Sentani ke XIII yang dilaksanakan di Pantai Khalkote, Distrik Sentani Timur. Tarian ini memiliki filosofi dari burung Kasuari yang merupakan simbol kesetiaan dan cinta.
Example 468x60

FDS ini pertama kali dilaksanakan di Pantai Yahim pada tahun 2004 dengan nama, Festival Budaya Danau Sentani yang kemudian dicaplok oleh Pemerintah Kabupaten Jayapura dan diubah namanya menjadi Festival Danau Sentani.

Catatan : Arie Bagus Poernomo

DIBALIK MERIAHNYA Festival Danau Sentani yang dilaksanakan setiap tahun, tidak banyak yang tahu bahwa pesta budaya itu merupakan hasil dari pencurian ide kreatif dari seorang pria paruh baya bernama Hiro Taime.

Nama, Hiro Taime mungkin sangat asing bagi generasi muda Papua di Kabupaten Jayapura saat ini, namun tidak dapat dipungkiri bahwa dialah orang pertama yang mencetuskan awal mula berjalannya Festival Budaya Danau Sentani pada bulan September tahun 2004.

Dalam sambungan telepon bersama paraparatv.id, dia menuturkan akan menggugat Pemerintah Kabupaten Jayapura ke pengadilan dengan tuduhan Pencurian Kekayaan Intelektual.

Perlindungan terhadap kekayaan intelektual sendiri diatur dalam Undang-undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Hiro mengisahkan, pada mulanya dirinya berinisiatif menggelar festival budaya di Pantai Yahim, Distrik Sentani karena ia melihat masyarakat adat Sentani pada masa itu kurang di beri ruang oleh Pemerintah Daerah untuk mengekpresikan diri terlebih khusus dalam hal kebudayaan.

Dimana pada tahun yang sama juga banyak festival budaya yang dilaksanakan di daerah lain di Provinsi Papua.

“Pada tahun 2001-2002 itu secara bergantian ada festival budaya Asmat dan juga Komoro (Mimika), saya yang waktu itu bekerja di Timika tergerak hati untuk membuat festival budaya di Sentani, tanah kelahiran saya, maksudnya supaya para turis yang selesai menyaksikan Festival Asmat dan Komoro juga bisa mampir di Sentani untuk melihat budaya masyarakat adat Sentani agar para turis ini paham bahwa di Papua itu banyak suku dan budaya berbeda-beda walaupun masih di dalam satu provinsi”

“Karena itu tahun 2002 saya turun dari Timika ke Sentani dan menyampaikan niat saya untuk menggelar Festival Budaya Sentani yang kebetulan sedang dikumpulkan oleh Ketua DPR saat itu Pak Jhon Ibo di Kampung Ifale” katanya dalam sambungan telepon.

Buah pikir Hiro untuk menggelar pesta budaya yang dimaksudkan itu rupanya mendapatkan sambutan yang baik dari para Ondofollo yang ia kumpulkan itu.

Berkat restu dari para raja bumi, pada tahun 2002 itu Hiro Taime mulai merumuskan konsep dari pesta budaya Danau Sentani yang akan dirinya buat secara independen melalui Yayasan yang ia bangun yakni, Yayasan Danau Sentani.

Dia mengungkapkan awalnya Festival Budaya Danau Sentani ini akan dilaksanakan pada tahun 2003, namun karena satu dan lain hal sehingga pelaksanaanya ditunda ke tahun 2004.

“Waktu pelaksanaan pertamanya itu 25-29 September 2004. Itupun saya paksa untuk melaksanakannya karena sudah dapat persetujuan dari para Ondofollo. Dan pelaksanaan pertamanya itu di Pantai Yahim”

Saat pembukaannya, Hiro mengundang Gubernur Papua kala itu yang di jabat oleh Barnabas Suebu. Namun karena saat itu Gubernur Papua sedang ada tamu dari Belanda sehingga berhalangan untuk hadir dan menugaskan Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Papua, saat itu.

Pembukaan pagelaran budaya Sentani yang pertama itu dihadiri oleh anggota MRP pada masa itu yang juga merupakan Mantan Rektor Universitas Cenderawasih, Ir. Frans Wospakrik dan saat itu semua sangat senang dengan pagelaran budaya yang diinisiasi olehnya, walaupun dilaksanakan dalam keterbatasan dan kesederhanaan.

Disinggung sejak kapan Festival Budaya Danau Sentani diambil alih oleh Pemerintah Kabupaten Jayapura, Hiro mengatakan bahwa pasca kegiatan yang dirinya gelar itu mendapatkan sambutan yang baik oleh masyarakat Sentani dan para turis yang berkunjung , Pemerintah Provinsi Papua dan juga Kabupaten Jayapura berebut untuk menggelar kegiatan itu di tahun berikutnya.

“Saat itu saya di Jakarta, Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Papua dan juga Pemerintah Kabupaten Jayapura menghubungi saya untuk meminta ijin untuk dapat melaksanakan kegiatan itu di tahun berikutnya. Karena waktu itu saya lagi di Jakarta jadi saya bilang tunggu saya balik ke Jayapura baru kita bicara bagaimana baiknya”

“Nah setelah saya kembali ke Jayapura, saya saya langsung ke Kantor Otonom untuk ketemu Kepala Dinas Pariwisata Provinsi. Tapi rupanya Pemkab Jayapura juga ngotot untuk melaksanakan kegiatan itu karena berada di wilayah administrasi Pemerintahan Kabupaten Jayapura sehingga waktu itu Provinsi mengalah”

“Karena saya rasa ada itikad baik dari Pemda Kabupaten Jayapura untuk melanjutkannya, ya saya tidak masalah dengan catatan pelaksanaannya akan saya awasi dan apabila pelaksanaannya tidak sesuai akan saya tarik kembali karena itu adalah hak cipta saya”ucapnya.

Di penghujung telepon, siang itu Hiro mengemukakan, sejak diambil alih oleh Pemerintah Kabupaten Jayapura dirinya mengaku miris, karena Festival Budaya Danau Sentani yang kini telah berubah nama menjadi Festival Danau Sentani itu kurang memberi ruang kepada masyarakat adat Sentani untuk menampilkan seluruh kekayaan budaya yang mereka miliki.

Karena kata dia, Festival budaya ini dia rumuskan untuk mengangkat budaya seluruh masyarakat adat Sentani.

Selain itu dengan pagelaran seni yang telah diambil alih oleh Pemerintah Kabupaten Jayapura ini juga seakan tidak memberi ruang bagi masyarakat yang ada di Lembah Grime dan juga di daerah Pesisir Tanah Merah.

“Ya kurang lebih seperti itu, orang-orang di lembah grime dan tanah merah seakan tidak diberi ruang untuk memamerkan seni dan budaya mereka dan ini adalah cara yang salah, karena Kabupaten Jayapura ini bukan hanya orang Sentani saja tetapi juga ada saudara-saudara kita dari Lembah Grime dan Tanah Merah”

“Pada awalnya festival ini saya konsep akan bergantian, setelah di Danau, kita bergeser ke Lembah dan kemudian ke Tanah Merah, tapi saya lihat selama kurang lebih 20 tahun berjalan ini sepertinya tidak ada perubahan sama sekali” tukasnya.

Oleh sebab itu dalam waktu dekat ini Hiro melalui kuasa hukumnya akan memejahijaukan Pemerintah Kabupaten Jayapura yang telah menggunakan Kekayaan Intelektualnya tidak sebagaimana yang ia rancangkan diawal.

“Karena saya tidak pernah dapat royalty sejak pertama kali diambil alih oleh Pemda Kabupaten Jayapura” tutupnya.

Hiro Taime juga menambahkan, Pemerintah Daerah Kabupaten Jayapura cerminan buruk yang kerap mengajarkan plagiarisme yang dapat merusak generasi penerus. (***)

Example 300250
Example 120x600

Respon (2)

  1. Wah saya baru tau, semoga kedepan tidak terjadi lagi… Kaka bulan depan kita lagi mau buat bedah buku dengan judul pilkada di tanah Papua, kaka kalau berkenan bisa ikut meliput juga
    Ini email saya leonardodiaz15351@gmail.com

  2. Memang benar ide milik beliau tapi apakah ada legal standing dari ide tersebut? Atau hanya konsep tanpa aksi???

    Sekarang ini segala sesuatu harus ada legal standing sehingga tidak dicuri idenya..

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!